Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

#SaveAhok: Ahok Lebih Bermartabat daripada Barisan Fadli Zon dkk

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lepas dari cibiran sebagian pihak bahwa Ahok terlalu percaya diri mengandalkan dirinya pada 'pilihan' rakyat, saya ingin membaca Ahok dalam kacamata moral yang lebih jernih. Ada satu hal yang dilupakan oleh para seteru Ahok ini yaitu bahwa Ahok lebih taat pada hati nuraninya. Ketaatan ini mengatasi oportunisme partai maupun rakyat.

Beberapa waktu yang lalu, ketika banyak yang merasa Ahok terlalu kasar dan tidak sopan, ia bahkan berani menantang kalau memang kinerjanya tidak baik, ya silahkan saja dilengserkan. Kebijakannya juga pernah ditentang barisan preman bersama H. Lulung dan dia berpegang pada konstitusi ketika menangani tanah Abang. Ini artinya memang dia melihat adanya nilai yang harus diperjuangkan. Perjuangan akan nilai-nilai etis, jauh melampaui sopan santun.

Sekedar perbandingan saja, saya jadi ingat dengan tokoh Tan Malaka yang dianggap terlalu ekstrim karena tidak mau berdialog dengan pemerintahan Hindia Belanda. Banyak partai di Indonesia yang waktu itu menjalankan politik kooperatif. Menyikapi hal itu, Tan Malaka bilang, "Tak ada tuan rumah yang berunding dengan maling di rumahnya sendiri."

Ya... kepada maling-maling, rasanya tak terlalu diperlukan sopan santun. Mungkin prinsip ini yang digunakan Ahok juga kepada mereka yang dianggap menghalangi kebijakan-kebijakan yang dianggapnya baik. Menggunakan gaya bahasa iklan saya ingin mengatakan, "gue suka gaya Lo, Hok!"

.......................

Mendengarkan suara hati, itu artinya harus siap berkonflik dengan kebanyakan pihak yang suara hatinya telah tumpul. Bahkan kadang harus berkonflik dengan dirinya sendiri. Dan saya rasa, Ahok sudah sangat terlatih dalam menaati suara hati atau hati nurani ini. Meskipun kadang bahasanya ada dalam analogi yang religius. Tak ingin menjadi Yudas. Yudas adalah pengkhianat sang guru kebenaran. Ahok tidak ingin menjadi pengkhianat kebenaran hati nuraninya. Saya sering menggunakan contoh begini: kalau kita naek sepeda motor dan melewati lampu merah yang menyala merah. Ketika ada 5 motor yang menerobos lampu merah, anda sendiri yang berhenti. Siapa yang akan disalahkan? Meskipun benar, yang sendirian jadi salah.

Ahok sepertinya sedang berusaha menaati rambu di hatinya. Sayangnya, dia seperti sendirian. Kawan-kawannya separtai adalah pelanggar-pelanggar yang sepertinya benar dan karena temannya banyak lalu merasa benar.

Tentang RUU PILKADA

Hampir tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengajukan dan mengesahkan RUU yang semula bersifat pemilihan langsung kemudian kembali ke sistem perwakilan. Tidak ada. Kata efektifitas, itu hanya mencari-cari. Lebih hemat? omong kosong.  Yang akan muncul hanyalah lobi-lobi politik. Yakin tidak akan ada permainan politik uang di sana?

Kecuali pilihan masyarakat sudah tepat dan benar, ya silahkan saja dipercayakan kepada mereka. Lha wong sekarang saja, dengan model pemilihan langsung, anggota DPR dan DPRD sudah banyak yang masuk tahanan KPK, bagaimana dengan model pemilihan tidak langsung?

Untuk menguji kebaikan RUU tersebut gampang, lihatlah sistem itu akan diterapkan sementara atau permanen? kalau hanya sementara dan itu tidak mendesak, pastikan bahwa ini hanya kepentingan politis sesaat. Sementara kalau sistem yang diundangkan bisa permanen berarti memang ada kepentingan jangka panjang yang diperjuangkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline