Guru yang diktator tanpa biasa mengkritisi apalagi mengajak muridnya untuk bisa kritis, jadinya malah menyesatkan. Dia menjadi pendidik tanpa berfikir lebih lanjut. Seperti kita semua yang biasa menggambarkan dua gunung dengan satu matahari yang bersinar. Ya, pendidikan kita, prakteknya mengajak kita untuk jadi pembebek.
PR matematika murid kelas 2 SD yang dikerjakan oleh sang kakak mahasiswa jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Soal hitungan 4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 = 24, dicoret sang guru karena salah. Padahal, kalau dikontekskan, justru sang gurulah yang salah.
coba sekarang diterapkan dengan soal cerita. Andi membawa 4 telur bebek pada hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat, dan sabtu. Maka, kalimat itu bisa disingkat Andi membawa 4 telur bebek 6 hari. 4 telur bebek kali 6. Bukan 6 kali 4 telur bebek.
Dalam konteks bahasa, kata kali (x) memang melekat pada angka enam. Tapi ini harus dipahami dalam konteks sebagai kata kerja pasif. 4+4+4+4+4+4 adalah 4 dikalikan 6. Ibarat sebuah kalimat, maka 4 lah yang dijadikan subjek dan subjek selalu di depan. Kalau subjek diletakkan dibelakang, tanpa objek akan menjadi aneh. Bilangan 6 di situ adalah keterangan.
Sebenarnya, matematika ini tidak dikategorikan sebagai sebuah ilmu. Meskipun dia berakhiran dengan -ika. Bandingkan dengan kata statistika, mekanika, etika, informatika, dll. Dalam ilmu-ilmu tersebut masih dimungkinkan adanya penelitian dan perkembangan. Matematika dalam filsafat ilmu lebih tepat disebut sebagai metode. Coba tanyakan, penelitian apa yang dibuat oleh fakultas Pendidikan Matematika. Kebanyakan hanya efektifitas metode pengajaran. Dalam arti tertentu, sangat naif sebenarnya meletakkan pendidikan matematika dengan diberi indoktrinasi moral. Ketika matematika dijadikan materi pembelajaran yang kemudian diberikan nilai-nilai moral, sebenarnya dia sudah melenceng dari objektivitas keilmuannya. Kalau anak mengerjakan 1+1=2, itu bukan karena kepatuhan dan ketaatan, tapi secara objektif itulah kebenarannya. Maka, menanti pemikiran kreatif sebenarnya jauh lebih menarik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H