Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Kejujuran pada Hati Nurani, Sisi Pendidikan yang Hilang

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ukuran orang baik dalam pendidikan adalah ketaatannya pada aturan dan keberhasilannya menyenangkan orang lain. Ukuran orang sukses adalah keberhasilan seseorang memiliki benda-benda mewah dan jabatan bergengsi. Tapi dengan itu semua, ada satu hal yang dilupakan, jujur terhadap diri sendiri. Toh kita sudah dididik semacam ini sedari kecil. Kalau tidak bisa mencapai itu semua maka akan dianggap orang yang gagal.

Padahal, kalau kita mau jujur tidak semua benda-benda mewah harus kita miliki untuk menjadi bahagia. Tidak semua prestasi harus kita raih untuk membuat hati kita gembira. Kita seperti dilatih untuk selalu merasa kurang dan belum cukup dengan apa yang sudah ada pada kita. Dan dengan demikian, pendidikan kita tidak pernah mencapai sebuah kebahagiaan sejati. Jangan puas dengan apa yang sudah kamu raih. Lah, apa salahnya kita puas dan menikmati apa yang sudah ada dan biarlah ini menjadi bekal untuk menyongsong hari berikutnya, tahun yang akan datang, dan menyambut masa tua? Lalu dengan itu, kita menyongsong hidup dengan gembira dan menyambut masa depan dengan rasa puas apa yang sudah kita terima.

Apakah rasa puas berarti mandeg? tidak. puas dengan yang ada berarti tidak usah merutuki kekurangan. Misalnya neh, ketika kita diberi satu talenta, ya sudah tidak usah ngiri dengan yang diberi lima talenta. Nikmati talenta itu dan kembangkan dengan baik talenta yang ada. Untuk bisa bahagia, kita hanya cukup melatih pikiran kita dan puas dengan apa yang kita punya sekarang dan disini. Pengasuhan dari orang tua dan masyarakat kita, walaupun mungkin maksudnya baik, sejatinya adalah penipuan. Meskipun maksudnya baik, agar kita termotivasi untuk sukses, tapi itu tetap tidak baik karena kita hidup dalam iming-iming masa depan yang lebih baik.

Ketidakjujuran berikutnya adalah berkaitan dengan kepatuhan yang buta, tanpa pernah kita bisa merefleksikan lebih lanjut, mempertanyakannya secara kritis kenapa kita mesti patuh. Kita dituntut untuk menjadi seperti orang lain. Agama, intitusi, masyarakat, dan negara mengatur kita. Dan sayangnya, sistem etika semacam inilah yang sekarang diterapkan, patuh dianggap baik, agar seperti orang-orang baik yang lain. Akibatnya, ketika ada kesempatan, kita akan segera melanggar semua peraturan yang ada, dan membuat diri serta orang lain menderita.  Bukan apa-apa, ingin melanggar saja. Ada papan larangan, dilarang merokok. di bawahnya ada coretan, "ganja boleh?"

Atau suatu ketika ada buah apel dan roti yang disediakan untuk anak-anak. Anak-anak kan biasa mengambil lebih dari jatahnya. Lalu ditulislah perintah di buah apel, "jangan ambil lebih dari satu, awas Tuhan sedang mengawasi..." lalu tiba-tiba ada coretan di tempat roti, "silahkan ambil banyak-banyak... Mumpung Tuhan lagi mengawasi apel!"

Ngomong-ngomong tentang Tuhan neh, ini benar-benar yang membuat orang mematikan atau membekukan anugerah yang diberikan Tuhan untuk bisa berfikir secara rasional. Kita harus taat saja. Ya, kalau mau jadi orang baik taat saja pada agama. Tidak perlu bertanya macam-macam. Bahwa di dalam hati kita ada banyak pertanyaan, tentang sesuatu yang ghaib, tentang Tuhan yang menciptakan alam semesta dalam 7 hari, tentang jin setan yang konon diciptakan dari api, tentang kenapa kita harus beribadah, dll. Jangan banyak tanya penjelasan ilmiahnya, taat saja dan kamu akan menjadi orang yang baik. Padahal, kalau direfleksikan secara jujur, kejujuran dan keberanian untuk bertanya kan merupakan prinsip moral yang baik, lebih baik daripada taat tapi berada dalam ketidaktahuan?

Juga berkaitan dengan negara... apa yang mengharuskan kita merasa bernegara? apa yang mengikatkan kita sebagai sebuah bangsa sehingga orang Papua harus tunduk kepada orang Jawa yang di Jawa sana? Dan seberapa jauh sejarah menentukan ketaatan kita sebagai sebuah bangsa?

Padahal, pada level yang tertinggi, kita hidup tidak lagi dengan aturan dan hukum yang dipaksakan dari luar oleh masyarakat kita, melainkan dengan intuisi dan nurani kita yang melampaui akal budi itu sendiri. Lah, kalau intuisi dan nurani  kita dibiasakan mandul dan tidak menjernihkan segala sesuatunya? bagaimana kita akan menjadi orang yang jujur?

Kita belajar, seakan-akan harus mengisi kepala kita dengan pengetahuan baru dan terus begitu. Pendidikan kita adalah pendidikan mengisi. Terimalah ilmu, carilah ilmu! yang akan berguna bagi kamu, bagi masyarakat, bagi agama, dan bagi negara. Ibarat cangkir neh, cangkir yang terus diisi dan diisi lama-lama kan penuh. dipaksakan diisi terus bisa pecah. Begitu juga dengan isi di otak kita.

A.A. Watimenna, mengatakan, belajar itu, sejatinya, adalah mengosongkan kepala kita dari kotoran-kotoran dunia dalam bentuk informasi-informasi tak berguna. Ketika semua kotoran telah pergi, kita lalu menjadi alami dan bijak, sesuai dengan kodrat alami kita sebagai manusia. Pendidikan, dalam arti yang kita alami sekarang ini di berbagai belahan dunia, adalah sumber dari segala kesesatan yang menjadi akar dari segala penderitaan dan kejahatan di dunia.

Saya tertarik dengan model pendidikannya Rm. mangun di DED. Sebuah sekolah untuk orang-orang miskin  yang tidak mampu untuk membeli seragam sekolah. Di sana, sang burung manyar ini mengajarkan dan bahkan mewajibkan siswanya untuk mencari pertanyaan dan terus mencarinya. Murid yang cerdas, bukan murid yang bisa menjawab pertanyaan, tapi mempertanyakan dari sebuah jawaban. Lalu saya teringat dengan pertanyaan Newton yang sampai sekarang belum terjawab, apa yang menyebabkan bumi memiliki gaya gravitasi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline