Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Adakah Film Sejarah yang Jujur?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sejarah, tanpa disertai dengan kebohongan akan membosankan. Karena, membaca adalah menafsirkan. Membaca sebuah catatan sejarah praktis merupakan kegiatan yang menafsirkan sebuah penafsiran. Apalagi, ketika kita harus membaca sejarah yang ada di dalam sebuah film, praktis penafsiran itu sudah berlapis-lapis. Maka, menjadi sebuah pertanyaan menarik sebenarnya, adakah film sejarah yang jujur?

Belum lama ini kita disuguhi sebuah tayangan yang mungkin saja sejarah, berjudul Exodus. Kisah tentang keluarnya bangsa Israel dari Mesir itu praktis merupakan tafsiran atas teks alkitab yang diklaim sebagai sebuah catatan sejarah. Lihatlah, betapa berbeda antara apa yang ditayangkan di film dengan apa yang tercatat dalam alkitab. Demikian juga dengan tafsiran yang lebih tekstual dari film yang sudah ada sebelumnya, berjudul the teen commandement. Meskipun diusahakan sebisa mungkin literer, tetap saja berupa penafsiran yang merupakan imajinasi pembuat filmnya. Dalam film Exodus memang diusahakan sebuah penafsiran yang kurang lebih ilmiah. Puncaknya tentu saja ada pada mukjijat terbelahnya laut merah. Jujurkah sejarahnya?

Cerita lain yang sangat populer tentu kita atau paling tidak yang seangkatan dengan saya mengenal apa itu film Pengkhianatan G 30 S PKI. Saya sendiri tidak pernah menontonnya. Maklum, saya orangnya tidak tegaan. Hehehe... Bahkan sutradaranya sendiri mengakui mencoba membangun image dan memperkuat karakter dari tokoh-tokohnya. Meskipun untuk itu, dia sadar persis bahwa karakter yang ditampilkannya beda dengan aslinya. Misalnya saja, ketika di film tersebut digambarkan bagaimana seorang D.N. Aidit klepas-klepus dengan cigaretnya. Padahal, dalam kenyataannya beliau bukanlah seorang perokok.

Kita semua maklum bahwa pada era Orde Baru, film sering-sering menyuarakan kepentingan penguasa sebagai sebentuk propaganda politik. Setelah era Orde baru, kita juga mendapatkan banyak film bertema sejarah yang sensornya relatif lebih longgar. Namun dalam film-film itu, kejujurannya juga tidak mungkin sepenuhnya jujur. Saya sendiri membedakan antara film sejarah dengan film yang diadaptasi dari novel bertema sejarah. Dari segi kesejarahannya, sepertinya keduanya tidak berbeda. Hanya saja, yang satu porsi imajinasinya lebih kecil dibandingkan dengan film yang lainnya. Semakin jauh masanya dari era kehidupan sang tokoh, tentu saja kecenderungan untuk merekontruksinya dalam sebuah imajinasi tentu lebih besar.

Setidaknya, untuk tokoh-tokoh, terutama biografi yang masih hidup, benar tidaknya suatu cerita bisa dikonfrontasikan. Misalnya saja film Jokowi dan film Ainun Habibie. Nah, kemungkinan tidak jujurnya untuk tokoh-tokoh yang masih hidup ini lebih kecil, bukan? benar. Tapi tidak kemudian jujur sepenuhnya. Mana mungkin bisa memotret sebuah kehidupan dan mengalihkan sekian tahun kehidupan hanya dalam hitungan menit? praktis ada potongan-potongan dan sensor-sensor, entah besar entah kecil di dalamnya.

Sebentar lagi kita akan disuguhi dengan sebuah film berlatar sejarah 98. Meskipun saksi-saksi sejarahnya masih ada, dan justru karena masih ada, tentu saja masih akan banyak terjadi kontroversi di sana sini. Tidak mungkin suatu film yang mengklaim bertema sejarah bisa memuaskan semua pihak. Bahkan dalam tafsiran film pun, kemudian imajinasi bisa muncul untuk memperkuat karakter dan setting. Maka, menonton film tak semestinya kemudian mengharapkan adanya akurasi sejarah. selalu ada frame dan sudut pandang, serta kepentingan pembuatnya. Meskipun mungkin tampak kelihatan bersifat ideologis, bagaimanapun juga konsep bahwa sejarah adalah bagian dari komoditas pasar tidak bisa ditolak. Sejarah, dalam sebuah film akan menjadi komoditas. Dan, logika komoditas, seperti halnya komoditas yang lain, tidaklah mungkin menampilkan kejujuran yang murni.

Bagaimana dengan film dokumenter? Dalam hal ini juga logikanya sama. Tidak mungkin memuaskan banyak pihak. Semacam the act of killing, meskipun kelihatannya jujur tetap di dalamnya memuat kepentingan pembuatnya. Jangan heran kalau kemudian satu peristiwa yang sama, bisa ditampilkan secara berbeda oleh masing-masing pembuat film. Soekarno versi Hanung, mungkin akan berbeda seandainya orang Belanda atau pemerintahnya membuat film tentang tokoh ini. Yang bagi orang Indonesia Soekarno adalah seorang pejuang dan pemimpin revolusi, bagi orang Belanda, belum tentu. Bahkan, ada juga orang Indonesia yang memotret Soekarno sebagai seorang pengkhianat revolusi. Padahal, entah beliau itu pecundang atau pahlawan, yang jelas dia adalah manusia yang sama seperti kita semua.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline