Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Kenapa Harus Ngotot dengan Budi Gunawan?

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apakah pembatalan Budi Gunawan akan berdampak signifikan terhadap PDIP dan Nasdem? Kemungkinannya sepertinya besar. Secara ideologis, mereka belum memiliki argumentasi yang jelas dan tegas mengapa tetap ngotot mempertahankan pencalonan Komjen Budi Gunawan. Misalnya saja, mereka mungkin akan mengatakan, "Pak Budi Gunawan itu satu-satunya polisi yang baik dan berintegritas! Budi Gunawan itu yang bisa mengayomi wong cilik... Pak Budi Gunawan itu satu-satunya yang memperjuangkan ideologi yang sejalan dengan semangat Indonesia Hebat sehingga satu-satunya calon ya hanya Pak Budi Gunawan!"

Belum ada. Yang ada hanya serangan-serangan kepada KPK. Dan lihat itu hanya serangan yang mau mempertontonkan bahwa Pak Abraham Samad dkk. bukanlah sosok yang bersih. Ketika ini yang terus dilakukan oleh para elite Parpol, maka sesungguhnya partai-partai itu sedang bunuh diri. Masyarakat akan terus bertanya, mengapa hanya Komjen Budi Gunawan yang dicalonkan dengan mendesak begitu? Ada apa sebenarnya?

Desakan publik yang semakin kuat untuk mencabut pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri, justru menjadikan partai-partai Koalisi Indonesia Hebat justru bertindak sebagai oposisi. Parahnya, oposisi di sini berarti oposisi kepada masyarakat luas yang selama ini dikatakan sebagai pendukungnya. Inilah 'wolak-waliking' jaman, ketika partai koalisi menjadi oposisi dan partai oposisi menjadi koalisi. Keadaan itu serta merta mementahkan perseteruan ketika kampanye. Lengkap dengan jargon-jargon manis perjuangan koalisi.

Paling tidak, kita belum mendengar pernyataan partai koalisi untuk mendukung sepenuhnya keputusan presiden karena kepadanya melekat hak prerogatif. Sebaliknya, partai sepertinya mempertanyakan keputusan KPK yang mempertersangkakan sang jagoan calon kapolri dan bahkan menyerangnya. Kini, mereka juga mempertanyakan dasar rekomendasi dari Tim 9 yang minta agar Presiden Jokowi membatalkan pencalonan Komjen Budi Gunawan. Sekali lagi, sebagai pengusul dan pengusung, mereka tidak bisa menjelaskan dan mengatakan bahwa Pak Komjen Budi Gunawan adalah The Only Man! Satu-satunya yang layak dan pantas sehingga harus mendobrak kebiasaan baik yang dulu dibuat oleh Pak Presiden.

Kemungkinan besar, elite partai ini sudah belajar dari pengalaman ketika seleksi menteri. Banyak orang partai yang harus diberi catatan merah dan kuning oleh KPK. Daripada kemudian harus ada kontroversi semacam ini lagi dan menghambat pencalonan, mending gunakan saja hak prerogatif dan tak perlu melibatkan KPK. Jadilah kemudian partai menekan sang presiden sebagai 'petugas partai' untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai satu-satunya calon kapolri.

Maka, sekarang semua ketika yang terjadi di luar bayangan kelihatan sekali bahwa NASDEM dan PDIP kelabakan. Partai-partai ini sedemikian tega dan kejam menempatkan Jokowi pada posisi di ujung tombak, bukan lagi di ujung tanduk. Pasti ada kepentingan yang lebih besar di balik ini. Sekali lagi, kepentingan ideologisnya belum kelihatan. Maka, publik berhak menerka, kepentingannya lebih bersifat pragmatis keluar dari kepentingan ideologi. Pola pikir semacam ini jelas, masih mencengkeram presiden sebagai petugas partai, bukan persembahan partai untuk bangsa dan negara.

Partai-partai ini jelas merasa punya jasa atas kemenangan Jokowi sebagai presiden. Padahal, sosok Jokowi jauh lebih menjadi magnet daripada partai-partai pendukungnya. Bahkan, PDIP dengan catatan partai paling banyak oknum yang korup, jelas menjadi batu sandungan Jokowi untuk melenggang ke tahta kepresidenan. Meskipun jasanya ada, dan mungkin memang signifikan, tapi catatan ini juga perlu dipertimbangkan.

Maka, rekomendasi presiden ketiga Indonesia, BJ Habibie pantas untuk dijadikan pegangan. Bukan lagi kepentingan partai dan golongan, tapi kepentingan rakyatlah yang harus dikedepankan. Rakyat harus lebih banyak didengarkan. Bagi para politisi, partai adalah representasi rakyat. Tapi bagi rakyat, elite parpol sering kali tidak mewakili mereka.

Sekarang rakyat lebih percaya pada tim independen yang kredibilitasnya cukup tinggi dibandingkan politikus. Jika presiden mengabaikan rekomendasi Tim 9 yang independen ini, maka rakyat akan semakin tidak mempercayai para penegak hukum yang di dalamnya ada kepolisian. Meskipun, secara hukum mungkin sah-sah saja. Mengingat, sejauh belum ada keputusan mengikat untuk seorang tersangka, maka hak politiknya dan juga kariernya belum hilang dan terhapuskan. Namun secara moral, ketika sang Komjen membangkang terhadap pemanggilan KPK dan 'tidak punya malu' melawan rekomendasi banyak pihak untuk mundur, dia kehilangan haknya untuk menjadi teladan bagi rakyat sebagai penegak hukum yang bermartabat.

Kenapa harus ngotot dengan Budi Gunawan? Tidak adakah calon lain yang lebih pantas di mata publik? kita semua berhak untuk menyampaikan tebakan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline