Seharusnya, sebagai partai pengusung sang presiden terpilih PDIP ikut mendukung keputusan mahaberat yang diambil oleh presiden Jokowi. Dengan dalih menghormati hukum yang mengedepankan asas praduga tak bersalah, PDIP kecewa dengan pembatalan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Pasalnya, setelah diajukan oleh presiden sebagai calon tunggal Kapolri dan disetujui DPR secara konstitusional pak Komjen Budi Gunawan punya hak untuk dilantik sebagai Kapolri. Masih secara hukum, keputusan sidang praperadilan yang menganulir status tersangka pak Komjen Budi Gunawan semestinya memperkuat hak beliau untuk bisa menduduki kursi tertinggi di institusi kepolisian tersebut. Presiden Jokowi mencabut pencalonan tersebut setelah menerima banyak masukan dan pertimbangan. Di antaranya adalah karena anulasi status tersangka belum membuktikan secara penuh bahwa pak Komjen Budi Gunawan memang bersih dari korupsi. Terlebih lagi, peristiwa tersebut kemudian mempertontonkan resistensi kepolisian terhadap apa yang dilakukan KPK dengan adanya banyak perseteruan di antara 2 lembaga tersebut. Keputusan presiden Jokowi disambut gembira banyak pihak, kecuali PDIP. Ada apa sebenarnya? benarkah ini dikarenakan PDIP ingin taat asas, mengedepankan konstitusi, dan dengan demikian menjunjung hukum sebagai panglima?
Sepertinya, hukum hanya merupakan dalih (kesan pribadi saya) dalam hal ini. Pasalnya, apa yang terkesan legal di kemudian hari ini, sesungguhnya masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Apa yang dilakukan presiden melulu menggunakan hak prerogatif untuk mengangkat seorang Kapolri dengan persetujuan DPR. Lalu, demi mengedepankan hak prerogatif itu, beberapa hal yang dinilai baik oleh publikpun dilanggar. Di antaranya adalah tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam pencalonan ini serta presiden tidak memberikan pilihan alternatif dalam pencalonan ini. Padalah kedua hal tersebut dianggap tidak berat dan baik sebagai bukti sinergitas antar lembaga pemerintahan. Dengan tidak melibatkan kedua lembaga tersebut, pantaslah bila kemudian masyarakat bertanya-tanya, ada apakah gerangan?
Salah satu tebakannya adalah besar kemungkinan kalau melalui dua lembaga tersebut, pak Komjen tidak akan diloloskan. Maka ya sudah, pakai saja senjata pamungkas, hak prerogatif. Padahal proses tersebut sangat berguna untuk melihat integritas seseorang di mata publik, mengingat sampai saat ini hanya KPKlah yang masih dianggap bersih oleh masyarakat. Sejauh para pengusung Komjen Budi Gunawan tidak bisa menjelaskan integritas melampaui fakta-fakta hukum yang belum selesai ini, sah-sah saja publik menebak-nebak semacam itu. Tebak-tebakan publik bisa semakin liar dengan berbagai macam kemungkinan seperti Komjen BG melindungi banyak kasus partai pengusungnya ataupun Komjen ini menjadi penyokong atau sumber dana partai. Ya, kita berdoa saja bukan ini yang terjadi. Tapi sekali lagi, sebagai pejabat publik, Komjen Budi Gunawan harus bisa menjelaskan asal-usul kekayaannya kepada institusi-institusi yang berwenang dan dengan demikian menjelaskan pula kepada masyarakat.
Lepas dari itu semua, sepertinya PDIP tak mau tahu. Pokoknya Jokowi dianggap tidak taat pada kehendak partainya. Dan ini mengecewakan. Sangat mengecewakan. Jokowi ibarat kacang yang lupa pada kulitnya.
Rakyat Puas: Jokowi Bukan Boneka
Apa yang membuat masyarakat puas kepada keputusan Jokowi di akhir waktu ini, bukan pertama-tama karena pak presiden batal melantik Budi Gunawan yang secara konstitusional punya hak. Juga bukan karena Jokowi ambil sikap terhadap para petinggi KPK. Kepuasan masyarakat ini, sepertinya lebih pada prasangka yang seolah-olah mendapat pembenaran bahwa presiden kita adalah presiden boneka yang harus tunduk pada petinggi partai. Dengan keputusan yang diambil sekarang, sepertinya presiden sudah terlepas dari bayang-bayang kekuasaan petinggi partainya.
Memang, tekanan partai selama ini dianggap sangat kuat kepada kebijakan presiden. Terlebih lagi, Buya Syafii Maarif mengatakan bahwa keputusan ini bukanlah inisiatif presiden Jokowi. Dengan kelambanan Jokowi mengambil keputusan ini, sebelumnya, mengesankan bahwa pak presiden sungguh-sungguh ada di bawah tekanan partainya dan juga yang kelihatan adalah mitra kerjanya dari partai Nasdem. Beberapa waktu sebelum keputusan sikap presiden Jokowi diambil, MetroTV menayangkan editorial harian Media Indonesia yang berjudul Supremasi Hukum, Bukan Supremasi Opini. Sepertinya, baik PDIP maupun Nasdem, ingin mengedepankan hukum dalam hal ini.
Sementara itu, ketua Tim Independen yang ditunjuk oleh presiden mengatakan bahwa presiden punya nyali untuk membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan. Maka di sini, bukan hanya masalah nyali besar atau kecil, tapi kesediaan tekad sang presiden untuk benar-benar lepas dari intervensi partainya. Benar juga bahwa Jokowi mengambil sikap yang berlawanan dengan kehendak partainya. Hal ini mengecewakan bagi mereka, tapi memuaskan banyak pihak. Konon inilah arti seorang pemimpin, berani ambil resiko. Setiap keputusan tidak mungkin bisa memuaskan banyak pihak dengan beragam kepentingan.
Selain mengungkapkan kekecewaannya, PDIP sudah ancang-ancang dengan kemungkinan lain. Bila terjadi interpelasi kepada kebijakan presiden ini, maka PDIP tidak bisa membantu sang presiden. "Keputusan Presiden tersebut tentu saja akan menyulitkan posisi Fraksi PDIP sebagai fraksi partai pemerintah di DPR untuk membela kebijakan presiden Jokowi soal Kapolri tersebut, ketika ada fraksi-fraksi lain di DPR yang mengusulkan interpelasi," kata Wakil Sekjen Ahmad Basarah (hentakan.com). PDIP menilai Jokowi telah melanggar UU Polri, maka rawan kena interpelasi.
Pertanyaannya, dengan ungkapan Komjen Budi Gunawan yang legowo menerima keputusan presiden dan juga penunjukkan calon Kapolri yang baru, apakah iya, ada kepentingan mendesak dan kuat dari wakil rakyat untuk menginterpelasi keputusan presiden. Justru kalau melihat fakta di atas, partai pendukunglah yang berpotensi untuk mengajukan interpelasi. Di sinilah kemudian, sepertinya rakyat akan semakin puas jika presiden mau terlepas dari bayang-bayang kepartaian. Bukan berarti koalisi lawan lebih baik. Tidak. Koalisi lawan juga punya kepentingan dan Jokowi tetap ada dalam bahaya bila mendekat ke koalisi lawan. Saya kira kondisi seperti sekarang baik, dekat-dekat berjarak dengan partai politik.
Mungkin juga hal ini merupakan akumulasi kekecewaan PDIP terhadap Jokowi. Kita ingat bahwa komposisi kabinet tidak seideal yang dibayangkan partai pemenang pemilu. Sepertinya, banyak juga kader PDIP yang tidak lolos sensor sebagai menteri. Tapi lebih dari itu, publik menilai bahwa menteri dari kalangan partai tidak terlalu bagus kinerjanya dibandingkan dengan menteri yang dianggap hanya lulusan sekolah menengah. Bandingan tegasnya, Menteri Susi kinerjanya dianggap jauh lebih baik dibandingkan dengan menteri Puan Maharani. Mungkin akan terjadi dalam sejarah Indonesia, partai pengusung presiden mengajukan interpelasi kepada kebijakan pemerintah.