Lihat ke Halaman Asli

Dari Mercon Bumbung sampai Musik Patrol

Diperbarui: 9 Mei 2019   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tarhib Ramadan dengan Musik Patrol di TK-SD Al Hikmah Surabaya. (dok. pribadi Silvy Millata)

Indonesia sangat kaya dengan keberagaman. Suku, bahasa, agama, pakaian, kekayaan alam, makanan khas, dan juga kesenian. Semua memiliki warna yang berbeda, berpendar menjelma keindahan negeri kita.

Datangnya bulan suci Ramadan juga tak luput membawa keindahan. Saya teringat ketika masih kanak-kanak, betapa bulan Ramadan menjadi bulan yang membahagiakan. Meskipun harus bersusah payah menahan haus dan lapar di siang hari, kami  bisa menikmati makanan dan minuman di malam hari.

Menunggu bedug Maghrib menjadi saat-saat yang indah bagi kami. Biasanya anak laki-laki akan bermain mercon bumbung. Bentuknya semacam meriam tetapi ia terbuat dari bambu. Kami---anak-anak perempuan akan melihat agak jauh. Mungkin karena takut. Bambu itu akan diisi minyak tanah, kadang karbit dan disulut sedemikian rupa dengan api pas di pangkal bambu sehingga menghasilkan suara yang menggelegar. Booom.......duarrr.....

Anak-anak akan tertawa dan bersorak kegirangan. Kadang-kadang kakak laki-laki saya berlomba dengan teman-temannya untuk membunyikan meriam bambu tersebut. Meriam siapa yang menghasikan suara yang paling menggelegar, dialah pemenangnya. Permainan segera berhenti ketika mendengar bedug ditabuh. Azan berkumandang. Maghrib datang. Kami berlarian menuju rumah masing-masing. Makan dan minum yang sudah disediakan ibu. Setelah itu kami menuju ke langgar untuk salat Maghrib.

Tidak jarang setelah salat tarawih anak laki-laki melanjutkan permainnnya. Memang ada beberapa anak yang mengaji di langgar, tadarus, tetapi banyak juga yang bergerombol bermain mercon bumbung tadi. Kami yang perempuan biasa bermain gobaksodor, engkle, boi-boian,  atau benteng-bentengan. Sesekali kami beli kerupuk upil (kerupuk digoreng pakai pasir) yang ditata satu-satu di  tusukan sate. Kalau kami diberi uang saku lebih biasanya akan membeli bakso. Saya suka bakso yang kasar karena dagingnya ada thethelan-nya dan es jeruk. Balas dendam karena siang tidak makan. Hehehe....

Kalau sudah kecapekan kami pulang. Tidur hingga suara bambu yang dipukul keras berirama membangunkan kami. "Sahur....sahur...sahur..." Musik patrol kami menyebutnya.  

Kakak saya yang laki-laki biasa keluar pukul 2 atau 3 pagi. Bergabung dengan teman-temannya. Mereka membawa bambu dengan berbagai ukuran. Kadang kentongan juga ada. Memukulnya berirama. Ramai membangunkan emak-emak yang masih tertidur untuk menyiapkan makan sahur. Ah... irama itu masih jelas terdengar di telinga.

Ketika saya tumbuh dewasa, masih sempat saya temukan musik patrol dipakai para pemuda untuk membangunkan warga perumahan dari lelapnya. Tentu saja sudah tersentuh modernitas. Bambu berkolaborasi dengan galon air, bak-bak plastik, dan barang-barang bekas lain yang ketika dipukul bisa menghadirkan bunyi. Dibarengi teriakan anak-anak muda menjadikan makan sahur lebih ceria.

Sayang, ketika saya pindah ke perumahan yang mendekati kota, saya tidak mendapati gerombolan anak muda yang bermusik patrol. Tidak ada lagi pukulan bambu dan teriakan sahur di jalan-jalan perumahan di penghujung malam. Yang tersisa hanyalah alarm dari HP. Berbahagialah kawan yang masih bisa menikmati indahnya sahur ditemani musik patrol.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline