Teknologi merupakan alat yang digunakan masyarakat untuk mempermudah segala aktivitas atau pekerjaan yang ingin dilakukan. Seiring perkembangan zaman, teknologi semakin modern dan digunakan hampir semua penduduk di dunia. Sekarang dunia menjadi lebih praktis dengan hadirnya internet. Dengan adanya internet orang-orang memanfaatkan ruang digital untuk mencari keuntungan secara positif maupun negatif. Oleh karena itu banyak kejahatan siber terjadi di banyak negara terutama di Indonesia. Menurut data ASEAN Cyberthreat 2021 yang dirilis Interpol, Indonesia merupakan peringkat pertama di antara negara-negara ASEAN mengenai serangan malware[1]. Dari data ini, serangan siber di Indonesia sangatlah besar. Bukan hanya itu, menurut BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) lebih dari 700 juta serangan siber terjadi di Indonesia pada 2022. Serangan yang mendominasi adalah Ransomware atau Malware dengan modus meminta tebusan[2]. Biasanya serangan siber menyasar pada perusahaan besar dan institusi pemerintahan. Apabila tidak diatasi akan menjadi ancaman yang besar bagi negara.
Ruang digital merupakan tempat bagi banyak orang untuk berekspresi dan bereksplorasi banyak hal. Maka, banyak orang yang memanfaatkan ruang digital untuk keperluan pribadi dan inilah yang menjadikan bibit baru dalam kejahatan siber untuk memberikan ancaman terkait data privasi orang dengan tebusan. Hal tersebut merupakan ancaman yang sangat serius bagi Indonesia yang memiliki kejahatan siber yang sangat tinggi. Seperti halnya kasus kebocoran data pendaftaran kartu SIM telepon Indonesia yang terjadi pada tanggal 5 September 2022 di Jakarta. Dalam kasus ini terdapat anggota forum Breached.to bernama BJorka telah membocorkan dan menjual data itu. Bjorka juga mengirim pesan kepada Kemkominfo yang bunyinya, “My Massage to Indonesian Government: Stop being an idiot”. Sebenarnya terdapat banyak kasus yang hampir sama dengan ini. Tak heran Indonesia menjadi peringkat pertama serangan siber di antara negara-negara ASEAN[3].
Literasi Digital di Indonesia
Tidak semua orang Indonesia paham mengenai teknologi atau istilahnya “gaptek”, apalagi mengenal keamanan data pribadi dari serangan siber. Hal ini menjadikan orang-orang buta akan teknologi seiring berkembangnya zaman. Ini menjadi masalah serius yang harus diatasi agar pengguna dapat menggunakan teknologi dengan layak. Jawaban dari semua permasalahan itu adalah literasi digital yang membuat pengguna semakin sadar bahwa ruang digital tidak sepenuhnya aman dari oknum-oknum yang seenaknya meretas data tanpa sepengetahuan orang yang diretas. Oleh karena itu literasi digital menjadi salah satu cara untuk meminimalisir serangan siber dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Menurut ketua Relawan TIK Sleman sekaligus anggota Mafindo A.M. Bahyagi mengatakan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 204 juta orang[4]. Oleh karena itu para pengguna internet harus memahami tentang keamanan digital, terutama dalam bermedia sosial. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan daya literasi di Indonesia masih rendah[5]. Padahal dengan adanya literasi digital para pengguna internet dapat menggunakan internet dengan baik dan dapat menjaga keamanan data pribadi agar terhindar dari serangan siber, seperti penipuan online, manipulasi data, pencurian, dan penyalahgunaan data pribadi. Maka pengguna internet perlu menerapkan nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dalam melintasi ruang digital.
Diperlukannya wadah untuk membangun kesadaran dan pemahaman pengguna internet terkait serangan siber. Mungkin dengan hadirnya GNLD (Gerakan Nasional Literasi Digital) oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika RI dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, dan produktif. Gerakan tersebut tidak cukup untuk menjadikan masyarakat yang cakap digital apabila tidak diimbangi dengan aspek kesadaran dari orang sendiri untuk mempunyai kehendak yang kuat untuk melakukan literasi digital[6]. Oleh karena itu banyak orang yang dapat mengamankan data pribadi dengan mandiri. Menurut Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) Meithiana mengatakan bahwa; “Contoh aksi yang dapat menunjukkan budaya Indonesia di internet yaitu mendistribusikan atau memproduksi konten tentang keindahan dan kekayaan alam di Indonesia. Contoh lain, memanfaatkan platform digital untuk menggalang dana donasi kemanusiaan[7].”
Manfaat dari literasi digital sendiri, yaitu para pengguna internet semakin cakap ketika mendapat informasi dari internet dan mampu menjaga data pribadi dari serangan siber. Literasi digital memberikan suatu pandangan baru dalam ruang digital, sehingga para pengguna internet dapat melihat ruang digital seperti dunia nyata yang terdapat kejahatan dan masalah-masalah yang muncul dalam dunia digital. Mungkin dengan adanya kesadaran itu membuat pengguna mampu meningkatkan kesadarannya akan permasalahan yang muncul di ruang digital.
Perlunya Penegakan Hukum
Selain literasi digital, pemerintah harus menegakkan hukum terhadap serangan siber yang sering terjadi belakangan ini. Lemahnya hukum menjadi suatu masalah yang harus dihadapi bersama untuk menegakkan keamanan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam menyikapi serangan siber.