Lihat ke Halaman Asli

Tandha’ dan Kuasa Kecilnya

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya berangkat dari satu pertanyaan sederhana, jika tandha’ adalah laki-laki apakah akan serumit ini? Jawabannya tentu saja tidak mungkin laki-laki menjadi tandha’. Pergolakan kuasa dalam masyarakat Madura pun tidak akan sehebat ini jika tandha’ adalah laki-laki. Tandha’ adalah perempuan tradisional Madura yang dianggap tidak berdaya namun bisa mengobrak abrik kekuasaan di tengah-tengah megahnya patriarki Madura.

Tandha’, perempuan tradisional Madura yang tidak berpendidikan, berasal dan hidup dalam tanean lanjheng yaitu sebuah tata ruang dan bangunan yang menempatkannya dalam pengawasan maksimal laki-laki. Tanean lanjheng yang berbentuk tegalan meletakkan sudut pandang bak kamera pengintai suami kepada istri dan anak-anaknya. Perempuan sepenuhnya berada dalam kuasa laki-laki. Tatanan sosial masyarakat Madura ini pun yang menempatkan perempuan sebagai mutlak kepemilikan laki-laki. Di dalam rumah tangga suami dengan bebas menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh istrinya. Jika terjadi pelecehan terhadap istri maka dipandang sebagai bentuk pelecehan kronis terhadap harga diri laki-laki Madura (malo). Oleh karena itu budaya kekerasan carok menjadi cara untuk mempertaruhkannya.

Rasanya hampir tidak mungkin bagi seorang perempuan sederhana, tidak berpendidikan untuk merancang suatu pelarian diri dari sistem yang paten ini. Ingin keluar tanean lanjheng saja harus atas izin suami, bekerja pun hanya dalam sektor domestik; apalagi keluar malam, meninggalkan anak-anak dan keluarga untuk menari bersama laki-laki lain, membawakan kéjhung yang merdu dan menerima saweran. Rasanya memang tidak mungkin.

Namun hal-hal tersebut terjadi dalam kehidupan tandha’. Tandha’ mampu mengoyak kokohnya tanean lanjheng dan kuasa laki-laki didalamnya. Tandha’ dalam kuasanya dapat menambahkan ‘kosa kata’ baru wanita sebagai pemimpin rumah tangga karena ia yang mencari nafkah lebih banyak dari suaminya. Adalah sesuatu yang mencengangkan di saat seorang tandha’ dengan lantang mengucapkan “dulu saya takut ke dia, sekarang dia takut ke saya” saat membicarakan tentang suaminya.

Mampu menjadi pemimpin keluarga karena alasan ekonomi dan memberi definisi kepemimpinan bagi perempuan Madura tidak serta merta memuluskan langkah tandha’ berhadapan dengan kuasa dominan di masyarakat; pemerintah (negara), agama, dan tentu saja laki-laki.

Jika tandha’ adalah laki-laki mungkin tidak akan ada pihak yang sebanyak ini ramai membicarakan representasinya dari segala stereotip yang berkembang sampai akhirnya berusaha mereproduksi identitas-nya. Tandha’ sebagai agen perubahan belum dapat diakui dengan besar hati oleh kuasa dominan masyarakat Madura.

Strereotip yang berkembang pesat di masyarakat menengah Madura, khususnya Sumenep, terhadap tandha’ adalah sebagai perempuan yang tidak anggun dan tidak patut dijadikan teladan bagi perempuan lain, keluarga, dan masyarakat. Tandha’ diberikan tuduhan amoral karena keberadaannya tidak sesuai dengan norma sosial yang ada di masyarakat Madura. Profesi tandha’ dianggap haram karena merendahakan martabat dirinya, keluarganya yang merasa malu, dan keluarga orang lain.

Di saat laki-laki menghabiskan uangnya untuk terus-terusan menyawer tandha’ maka akan membuat sang istri merasa teraniaya. Oleh karena itu tandha’ mendapatkan stereotip sebagai perusak rumah tangga orang dan ‘penjahat’ bagi perempuan lain. Tak sedikit pula yang menyebut tandha’ memiliki kemampuan magis untuk membuat laki-laki terbuai dan tanpa sadar bersedia menghabiskan uangnya untuk tandha’. Entah karena faktor iri hati atau memang benar adanya tandha’ adalah seperti yang direpresentasikan oleh masyarakat kelas menengah Madura lewat semua stereotip-nya.

Stereotip negatif yang lebih dahsyat berkembang kuat di lingkungan masyarakat agamis. Kyai (agama) sebagai sosok penting dalam kehidupan masyarakat Madura, khususnya Sumenep yang mayoritas muslim, menunjukkan penolakan sikap yang sama dengan pemerintah (negara), malah lebih ekstrem. Kyai yang mulanya terbagi menjadi golongan moderat dan konservatif pada akhirnya tetap menempatkan tandha’ di satu suara, yaitu haram.

Pemerintah (negara) merasa penting untuk mentralkan identitas tandha’ dalam masyarakat. Pemerintah, yang kebanyakan diwakili oleh wanita kelas menengah Madura, melakukan penetralan tanpa bisa menghilangkan stereotip negatif terhadap tandha’.

Alhasil penetralan malah menghilangkan identitas tandha’ sebagai perempuan seni Madura. Penetralan terhadap tandha’ justru memaksanya untuk mengganti rapé dengan kebaya, setelah memakai kebaya tandha’ disuruh untuk memakai jilbab, kéjhung merdu yang berisi godaan manis untuk laki-laki diganti dengan solawat nabi, tidak boleh ada ron-toron agar tayub menjadi lebih tertib, jarak penari laki-laki dengan tandha berjarak satu meter dan tidak boleh jawil-jawil. Penetralan ini dianggap sebagai pembelaan pemerintah terhadap tandha’ di mata masyarakat agar martabat tandha’ dapat terangkat.

Namun apakah yang dilakukan pemerintah cukup adil bagi tandha’?

Jika dalam artikel apresiasi yang ditulis oleh Bustami (Srinthil 013:2007) menyatakan bahwa panggung kesenian di Madura terbagi atas dua dikotomi; seni keagamaan dan seni rakyat. Pilihan panggung kesenian ini pun sarat akan kuasa, karena bisa jadi suatu seni dapat berkembang di satu daerah tapi tidak di daerah lainnya. Tandha’ yang masuk ke dalam dikotomi kedua, seni rakyat, yang bisa dikatakan harus terbiasa dengan stigma peyoratif (Bustami: 2007).

Saya menyayangkan reproduksi identitas dengan kedok penetralan yang dilakukan pemerintah terhadap tandha’ (mungkin saja) melebihi stigma peyoratif sebagai imbas dari adanya dikotomi diatas panggung kesenian masyarakat Madura. Reproduksi identitas tandha sama saja dengan pengakuan hegemoni kuasa pemerintah terhadap golongan marjinal seperti tandha’. Dengan segala kekuatan dan kuasa-nya pemerintah dapat mengganti atau bahkan melenyapkan suatu budaya marjinal untuk menegakkan dominasi di sisi lain. Jawabannya: tentu sangat tidak adil.

Lalu apa yang dilakukan tandha’ untuk membela dirinya? Dalam artikel yang ditulis oleh Hamdhi (Srinthil 013, 2007) tandha’ membela dirinya dengan berusaha menaikkan martabat hidup dirinya dan keluarga, terutama anak-anaknya. Tidak ada tandha yang mau anaknya menjadi tandha’. Mereka ingin anak-anaknya berprofesi lebih bermartabat seperti bidan dan pejabat (Hamdhi: 2007). Mengapa tandha’ ingin melakukan ini? Bukankah kenyamanan ekonomi yang mereka dapatkan dari profesi tandha’ membawanya pada kemakmuran? Alasannya tak lain adalah untuk membersihkan namanya dari sesuatu negaif di mata masyarakat.

Tandha’ ingin membuktikan bahwa uang hasil saweran dan menandha’ bisa membawa anak-anak mereka kepada posisi yang dihormati oleh masyarakat. Dan juga alasan ini digunakan oleh tandha’ untuk membersihkan nama mereka di masa depan di saat mereka sudah tidak berprofesi sebagai tandha’. Seperti yang diceritakan Hamdhi (2007) dalam artikelnya, ada seorang hajah yang mengaku dulu berprofesi sebagai tandha’. Namun identitas baru sebagai hajah inilah yang bisa melepaskannya dari identitas masa lalu sebagai tandha dan berusaha berusaha sekeras mungkin agar anak-anaknya tidak mengikuti jejaknya menjadi tandha.

Penggantian identitas tandha’ di masa lalu menjadi hajah di masa kini dan tidak ingin anak-anaknya menjadi tandha’ di masa depan, semakin menegaskan bahwa mantan tandha’ tersebut mengakui identitas tandha adalah negatif di mata masyarakat dan ia sebaik mungkin berusaha untuk menghilangkannya serta memastikan keturunannya pun bersih dari identitas tesebut. Sungguh ironis melihat bagaimana akhirnya hegemoni pemerintah benar-benar bekerja.

Lalu apa yang sebenarnya dilakukan tandha’ untuk membela dirinya? Tidak ada. Tandha’ tidak membela dirinya tapi tandha’ tetap melakukan perlawanan. Hamdhi (2007) menjelaskan mengenai penafsiran sikap menyerah adalah sebuah cara untuk melakukan perlawanan. Sebagaimana dikutip melalui Hamdhi (2007), Scott (1985: 301-302) perlawanan kaum marjinal adalah melalui kelenturan dan ketahanan diri untuk senantiasa bertahan hidup dalam sistem dominatif.

Walaupun strategi bertahan diri dalam sistem bisa membuat tandha’ bertahan, namun menurut saya bukan seperti itu cara tandha’ berkuasa. Tandingan kuasa terbesar tandha’ adalah laki-laki, kuasa besar tersebut memang tidak mungkin diruntuhkan dengan frontal oleh seorang tandha’ yang kecil.

Tandha’ memang tidak bsia meruntuhkan hegemoni tapi ia bisa menyerangnya melalui kuasa-kuasa kecil yang ia bangun. Kuasa terbesar yang tandha’ miliki adalah bahwa ia menyadari kekuasaan tubuhnya. Tandha’ yang menari dengan gemulai dan menyanyikan kéjhung dengan merdu mampu menarik pria yang menikmati seninya. Tandha’ mempunyai kemampuan untuk menciptakan suatu popularitas yang melintasi ruang (Bustami: 2007). Karena kepopulerannya itu tandha’ mendapatkan ruang untuk menunjukkan kekuasaannya kepada laki-laki. Bentuk sederhana dari kuasa tandha’ adalah saweran dalam cemmong. Seorang laki-laki yang sudah diberikan selendang oleh tandha’ akan diminta ikut berjoget dengan tandha dan memberikan saweran. Besarnya saweran adalah gengsi bagi laki-laki. Di lain sisi tandha’ yang akan senang dari banyaknya saweran yang diberikan. Secara tidak sadar gengsi laki-laki untuk memberikan saweran adalah di bawah kuasa tandha’ walaupun tidak dilakukan dengan frontal. Saweran adalah bentuk manifestasi kecil dari kuasa tandha’ terhadap tubuhnya. Melalui saweran tandha’ menjungkir balikan kuasa laki-laki. Ia membuat laki-laki tertarik untuk berjoget dengannya dan memberikan saweran. Dengan demikian kuasa tandha’ akan tubuhnya membuta kuasa laki-laki tumbang.

Lalu bagaimana dengan ‘penetralan’ yang diberikan hegemoni untuk menghalau tandha’? Rapé yang digantikan dengan kebaya agar menghindari saweran di dada dan jarak antara tandha dengan penari pria tidak menghalangi tandha’ untuk tetap mendapat penggemar dan menerima lebih banyak saweran. Toh tandha’ tetap ada, tetap berseni. Saya memandang hal ini sebagai kekuatan tandha’ untuk bertahan walaupun terhimpit keterbatasan yang hampir menghilangkan identitasnya sebagai perempuan seni Madura.

Tandha’ yang marginal ternyata secara perlahan menyusupkan kuasanya pada masyarakat Madura, terutama laki-laki sebagai kuasa dominan. Tandha’ tetap bisa mempertahankan identitasnya sebagai perempuan seni sekaligus messenger multikulturalisme.

Kemampuan tandha’ untuk bertahan dan membuktikan kuasa kecilnya bisa mendobrak kuasa dominatif laki-laki, membuat saya sampai pada satu kesimpulan bahwa tandha’ adalah agen perubahan bagi tatanan paten patriarki Madura.

Kembali ke pertanyaan sederhana saya diawal, jika tandha’ adalah laki-laki apakah akan serumit ini? Jawabannya: tidak akan, karena perempuan tandha’ yang bisa menjadi agen perubahan, bukan laki-laki.

Referensi:

Bustami, Abd. Latif. 2007. SRINTHIL 013 : Apresiasi. Jakarta: KP Desantara.

_______________ . 2005. Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi : Carok dan Perempuan Madura. Jakarta: Desantara

Budianta, Melani. 2005. Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi : Perempuan, Seni Tradisi, dan Subaltern: Pergulatan di Tengah-tengah Lalu Lintas Global-Lokal. Jakarta: Desantara

Hamdhi, Inung A.Z. 2007. SRINTHIL 013 : Suara Tandha’: Melawan dari Balik Keheningan. Jakarta: KP Desantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline