Lihat ke Halaman Asli

Hermin KhoirrotulAinia

MAHASISWA UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Kurikulum Batasi Kreativitas

Diperbarui: 29 November 2019   05:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pakar pendidikan Totok Amin Soefijanto menjelaskan, saat ini pendidikan sekolah menerapkan kurikulum 2013. Disitu diatur aktivitas kegiatan belajar-mengajar, cakupan materi, hingga referensi buku yang digunakan.

Secara tidak sadar, guru dipandu kurikulum itu. Namun, kurikulum tersebut justru membuat guru kurang kreatif. Mengajar hanya terpaku pada template. Terkadang malah tidak sesuai dengan kebutuhan guru maupun siswa.

Belajar sudah tidak dilakukan dengan cara kuno yang sifatnya satu arah. Harus lebih melibatkan siswa di kelas. Misalnya, siswa diberi kesempatan untuk mengajar, melakukan presentasi, dan terlibat aktif dalam berdiskusi.

Untuk menciptakan suasana belajar yang ideal, guru harus sudan mumpuni secara kompetensi. Begitu juga siswa yang siap belajar. Sebab, proses belajar itu menuntut peran kedua pihak.

Bagaimana siswanya? Jika hanya melihat hasil ujian nasional (UN) juga tidak terlalu impresif. UN hanya menilai output. Tidak bisa merepresentasikan proses belajar siswa bagus atau tidak. Karena itu, tutur Totok, dibutukan peran pemerintah pusat sampai daerah untuk membangun semua itu.

Dalam seminar yang digelar Bank Dunia bertajuk The Promise of Education in Indonesia Selasa (19/11) disebutkan, Indonesia kurang fokus ke pembelajaran. Seolah-olah dengan mengadakan kelas, kurikulum, ada guru, asumsinya sudah ada pembelajaran. 

Peran Badan Peneletian dan Pengembangan Kemendikbud sangat sentral. Mereka mempunyai peta mengenai kesiapan daerah untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dari situ dipetakan nama daerah yang sudah siap. Untuk kemudian dijadikan contoh. Proses itu bisa berlangsung sambil menyempurnakan kurikulumnya.

Pengamat pendidikan sekaligus guru besar Institut Teknologi Bandung Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, guru sebenarnya tidak perlu diatur. Yang dibutuhkan adalah diberi kepercayaan penuh untuk mengajar siswa. Yang dimaksud belajar adalah berpikir, bernalar, dan berkomunikasi.

Komunikasi berarti harus ada interaksi intensif antara guru dan siswa. Selama ini, selain mengajar, guru harus mengerjakan urusan administrasi. Misalanya terkait dengan sertifikasi dan kenaikan pangkat yang mempengaruhi pendapatan.

Selain itu, polemik guru honorer harus dituntaskan. Bersamaan dengan itu, guru-guru yang tidak aktif harus dibereskan. Begitu juga pola belajar. SMK harus menggunakan pola belajar sambil bekerja. SD berfokus pada belajar sambil bermain dan bersosialisasi. Sedangkan SMP dan SMA mempelajari dasar-dasar bidang ilmu yang merupakan landasan pengembangan kemampuan.

Sekian, semoga bermanfaat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline