Lihat ke Halaman Asli

Ibu Painah, Penjaja Kacang Rebus yang Masih Bertahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1363225635178167281

Setiap harinya orang-orang yang sudah terimbas dampak globalisasi lebih memilih makan di rumah makan yang ternama. Ada gengsi tersendiri jika orang-orang dapat makan di rumah makan dengan logo M besar berwarna kuning, kakek berjenggot, dan lain-lain. lalu bagaimana dengan nasib para pedagang tradisional? Apalagi mereka kalah jauh jika dibandingkan dengan tempat makan mewah itu. Modal yang minim dan iklan-iklan media akan tempat makan mewah itulah yang kerap membuat pedagang kecil mati kutu.

Seperti layaknya yang dialami oleh perempuan paruh baya, Ibu Painah, seorang penjaja kacang dan ketela rebus di depan Pasar Beringharjo Yogyakarta.

Sudah lebih dari empat puluh tahun Ibu Painah berjualan kacang dan ketela rebus. Demi tuntutan ekonomi keluarganya, ia sudah berjualan kacang dan ketela rebus dari usia lima belas tahun. Usia di mana remaja masih harus mengenyam bangku sekolah dan bermain dengan teman sebayanya.

"Ya sudah dari 15 tahun, dulu juga saya tidak bisa sekolah, karena tidak mau membebani orang tua, ya akhirnya saya jualan aja," ujar perempuan paruh baya ini.

Pekerjaan menjual kacang, ketela rebus, serta air minum mineral ini ia lakukan tiap hari tanpa pernah mengeluh. Walaupun penghasilannya tiap hari hanya cukup untuk kehidupan sehari-harinya, ia tetap setia mengayuh sepeda onthelnya untuk berjualan di Pasar Beringharjo.

"Adanya kendaraan ya cuma sepeda onthel mbak, ya mau ga mau," ungkap Painah.

Perempuan dengan usia 60 tahun ini memiliki tiga orang anak. Namun sudah enam tahun yang lalu, ia harus merelakan salah seorang anak laki-lakinya yang meninggal dunia. Derita yang ia tanggung seolah menambah beban hidupnya tatkala ia harus menerima kenyataan bahwa anaknya sakit keras dan meninggal.

Tanpa ada dukungan dari suami juga membuat Ibu Painah mau tidak mau berkorban demi bertahan hidup. Sudah lama suami Ibu Painah meninggal dunia. Sejak saat itulah, Painah menjadi satu-satunya harapan dan tulang punggung utama di keluarganya. Bertahun-tahun setelah kematian suaminya, anak-anak Painah pun bertumbuh dan mulai membangun keluarga mereka sendiri.

"Suami sudah meninggal, tapi udah lama. Anak juga 6 tahun yang lalu meninggal. Gara-gara sakit komplikasi. Mau berobat juga ga ada biaya," kata Painah.

Kini perempuan asal Sleman itu harus menjalani hari-harinya sendirian. Kedua anaknya berada di Blitar dan Bali untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak. Hanya beberapa kali saja dalam satu tahun mereka pulang melihat kondisi Ibu Painah.

Jika anak-anak Ibu Painah pulang ke Yogyakarta, mereka akan membantu Ibu Painah berjualan pecel dan gado-gado di rumahnya. Mereka berjualan di rumah mereka. meskipun begitu, untung yang diperoleh juga tidak terlalu banyak. Lagipula tidak semua uang yang mereka peroleh murni menjadi pendapatan Ibu Painah. Uang tersebut sebagian mereka bawa pulang ke Bali dan Blitar untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari mereka.

"Jualan, tapi di rumah aja. Trus nanti mereka juga dapat bagian. Kasian mereka kalo ga punya uang, ya hasil jualan buat mereka," kata Painah.

Menjajakan kacang dan ketela rebus ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Setiap hari jam sebelas pagi, Ibu Painah membawa barang dagangannya ke Pasar Beringharjo. Sosoknya yang ramah dalam berjualan seringkali membuat orang lain merasa senang. Ia bahkan tidak segan-segan memberikan lebih kacang dan ketela rebus dagangannya demi menyenangkan hati pelanggan. Dalam satu hari ia mampu menunggu dagangannya hingga jam lima sore. Jika dagangannya masih tersisa, ia akan menjual dan mengedarkannya dengan harga yang murah. Setelah itu Ibu Painah harus membeli kacang dan ketela mentah untuk ia olah dan ia jual kembali esok harinya. Kegiatan ini ia lakukan setiap hari tanpa ada keluhan.

Tingginya biaya untuk hidup sehari-hari membuat Ibu Painah harus terus berjuang berjualan kacang dan ketela rebus. Harga sewa tempat di depan Pasar Beringharjo yang lumayan tinggi juga menjadi kendala bagi Ibu Painah. Belum lagi ada beberapa orang yang selalu meminta uang atau makanan kepada Ibu Painah. Tapi demi bertahan hidup, Ibu Painah tetap sabar dan menerima keadaannya.

span> Podcast : Feature Ibu Painah




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline