Lihat ke Halaman Asli

Herman Utomo

pensiunan

Terapi...

Diperbarui: 31 Januari 2024   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

httpspixabay.comidphotostangan-membuka-lilin-cahaya-lilin-1926414

Menunggu rasanya adalah sesuatu yang membosankan dan membuat diri menjadi galau, berkecamuk atau bahkan bisa menjadikan marah. Sekalipun kadangkala tidak tahu harus melampiaskan kejengkelannya kepada siapa.

Seperti halnya yang penulis alami minggu kemarin, saat mengantar isteri menjalani fisioterapi di sebuah rumah sakit di kota Semarang. Sesuai dengan nomor urutan yang sudah diambil, kami menunggu panggilan dengan hati yang sudah mulai ditata dengan kesabaran. Karena seperti yang sudah pernah penulis dengar. Kesabaran itu ilmu tingkat tinggi. Belajarnya setiap hari, latihannya setiap saat, ujiannya sering mendadak, sekolahnya seumur hidup dan wisudanya masih lama. Benar ?

httpspixabay.comidphotosbebek-angsa-maret-nasihat-antrian-3217049

Dan sambil menunggu panggilan antrian dengan hati yang di setel penuh lapang, seluas lapangan sepakbola, penulis mencoba melihat-lihat sekeliling yang berisi beberapa penderita yang mengalami ketidak nyamanan di tubuhnya, dan harus menjalani fisioterapi. Beberapa ada yang sudah masuk kategori lansia, tetapi ada juga yang masih usia muda, kisaran usia sekolah dasar. Entah kenapa, hari itu yang penulis saksikan mayoritas kaum perempuan, yang akan menjalani fisioterapi.

Dari wajah-wajah yang penulis perhatikan, ada beberapa yang mencoba tersenyum di dalam kesakitan. Ada juga yang pasang wajah sedih karena di dalam hatinya bertanya, mengapa harus menjalani sesuatu yang sebetulnya tidak diharapkan. Bahkan ada juga yang pasang wajah garang, karena merasa marah dan jengkel karena harus menjalani fisioterapi di bagian tubuhnya yang diakibatkan perbuatan orang lain.

Mencoba berinteraksi dengan sesama penderita yang harus melakukan fisioterapi, membawa ke dalam sebuah ungkapan kejujuran yang tidak bisa dipandang remeh. Bukan dipandang sebelah mata, karena rasanya penulis membaca lewat sinar mata penderita seakan seperti orang harus kembali ke dalam kehidupan normalnya, dengan membiarkan dirinya ditindas dalam kekuasaaan yang dialaminya, yang tidak terbayangkan sebelumnya.

httpspixabay.comidphotospria-pelari-berlari-olahraga-8293794

Mungkin pernah ada di benaknya, untuk mencoba lari dari kenyataan yang dihadapinya sekarang. Karena seandainya ini bisa mewakili kejadian yang terjadi saat ini dan seperti halnya yang sedang menimpa seseorang yang merasa disakiti, dikucilkan, ditindas, diintimidasi, ditekan oleh orang lain yang berakibat sebuah penderitaan.

Bisa jadi orang tersebut menjadi pemurung dan menutup diri dari pergaulan, karena sejujurnya dia tidak bisa lagi berpikir jernih. Apa yang ada dibenaknya hanyalah mencoba lari dan lari dari kenyataan. Bahkan bisa membuat kepahitan yang bisa berujung ke dendam yang membara. Dan ini bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan siapa saja bisa mengalaminya.

Sungguh ini bukan perkara yang gampang. Adalah sebuah implikasi yang amat jelas dan gamblang untuk kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana seseorang ketika ada dalam kondisi yang paling bawah secara kejiwaan, haruslah dikembalikan secara utuh, sesuai dengan imannya kepada Sang Khalik untuk beroleh kekuatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline