Mungkin ada beberapa kali, penulis temui kawan-kawan yang segan kalau ditanya berapa usia yang pastinya saat merayakan pesta ulang tahun. Mungkin penyebutan batas usia menjadikannya tabu. Atau mungkin juga malu menyebutnya karena alasaan tertentu. Entah karena target yang belum terpenuhi atau entah gengsi juga. Tetapi biarlah itu menjadi hak pemilik usia, kita tidak boleh memaksa.
Memang berjalannya usia di atas tatanan kehidupan yang makin menua dengan segala pernak-perniknya, rasanya menjadikan banyak perubahan. Karena biar bagaimanapun menjadi tua itu pasti. Tetapi menjadi dewasa itu pilihan, Begitu kata kalimat bijak. Dan itu sungguh sebuah fakta. Buktinya, banyak umat manusia yang makin tua, tetapi tidak dalam kedewasaan di hidupnya. Benar ?
Seperti saat kemarin malam. Penulis, isteri dan anak bungsu makan bersama di suatu tempat yang ada di sekitaran daerah Singosari, Semarang untuk merayakan ulang tahun anak bungsu penulis, yang memang sengaja ambil cuti besar untu merayakannya dengan kami, selaku orang tuanya. Tidak akan juga penulis sebutkan juga ulang tahun yang ke berapa. Karena ini bukanlah keputusan tentang batas usia yang perlu dihebohkan, seperti yang sedang berkecamuk di negeri ini.
Sambil menikmati makan malam yang rasanya juga enak, tentu saja karena anak bungsu yang bayarin, mata penulis mulai menjelajah ke sudut-sudut ruangan dengan bangku- bangku yang masih kosong. Bisa jadi karena bukan malam minggu, jadi pengunjung tidak terlalu banyak. Posisi kami duduk memang sangat strategis. Sehingga bisa melihat setiap pergerakan orang yang keluar masuk rumah makan.
Belum lagi penulis memasukkan suapan nasi empal daging renyah sambal matah, pada sendok yang ke lima, masuklah sepasang suami isteri dengan perkiraan usia sudah di angka tujuh puluh tahun, dengan rambut yang sudah memutih di seluruh kepalanya, tanpa polesan semir rambut. Dengan langkah perlahan sang suami menggandeng isterinya menuju meja dan kursi pilihan suaminya. Ditariknya kursi buat duduk isterinya. Selanjutnya mereka memilih menu masakan yang sudah disediakan.
Tidak sengaja mata penulis beradu pandang dengan isteri. Dan tanpa harus menunggu persetujuan dan keputusan bersama, kami sama-sama katakan. Mesra ya. Dan dalam benak pikiran kita masing-masing sempat terlontar kalimat tanya. Kalau saja Sang Khalik ijinkan, biarlah kami juga bisa menikmati hari-hari dengan kasih seperti yang mereka jalani.
Suasana makin mulai ramai. Dan selang sesaat masuklah dua pasang suami isteri. Yang sepasang penulis perkirakan sekitar usia lima puluh tahunan. Dan sepasang lagi sekitar usia enam puluhan tahun yang penulis rasa mereka berdua ini adalah kedua orang tua dari pasangan yang lebih muda usianya. Kedua orang tuanya yang rambutnya juga sudah memutih, tetapi dengan kondisi fisik yang agak terganggu, sehingga sejak masuk pintu sampai ke tempat duduk, anak lelakinya yang terus memapah kedua orang tuanya.
Dan yang membuat penulis dan isteri takjub, adalah sikap anak lelakinya yang terus mengabadikan kedua orang tuanya. Sejak duduk di kursinya sampai saat kedua orang tuanya makan suap demi suap, semuanya diabadikan dengan hand phonenya. Berbalikan dengan menantunya yang sikapnya cuek bebek. Dan seolah tidak mempedulikan ada mertuanya yang mulai renta dimakan usia sedang makan di hadapannya.