Mendadak teh yang baru saja penulis seruput berasa pahit dan getir pagi ini. Padahal sudah sekian tahun isteri membuatkan teh setiap pagi. Dan tiap kali pula rasanya itu yang membuat hati ini penuh damai. Tapi pagi ini racikan tehnya berasa lain. Apa mungkin karena obrolan isteri yang mengungkapkan cerita di group WhatsApp ibu-ibu komplek sepanjang malam tadi ?
Memang baru saja satu tegukan teh panas masuk ke mulut, ketika isteri bercerita tentang keluhan beberapa ibu muda yang merasa anak-anaknya tidak ada daya juangnya. Pinjam istilahnya kalah sebelum bertanding. Belum lagi penulis menanyakan, isteri sudah menjelaskan beberapa masalahnya. Dan yang paling banyak adalah ketika anak-anak generasi muda ini disuruh mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya di sekolah.
Banyak diantara anak-anak muda ini gampang menyerah ketika diperhadapkan dengan tugas-tugas yang boleh dikatakan sangatlah mudah, karena hanya bermain logika. Tidak seperti angkatan penulis dulu, yang terus berupaya mencari jawaban dari tugas pekerjaan rumah. Bahkan keluhan ini juga diungkapan oleh seorang guru les anak-anak muda di komplek perumahan kami. Si ibu ini sampai mengeluh dan curhat kepada orang tua yang anak-anaknya di tempatnya.
Kecenderungan sikap anak-anak generasi muda ini adalah gampang menyerah dan tidak mau berusaha untuk menuntaskan masalah pekerjaan rumah yang dihadapinya. Singkat kata, anak-anak muda ini. maunya si ibu yang memberi les yang menuntaskannya. Wah…apa begini potret generasi sekarang yang bisa sekali jepret ?
Jadi teringat waktu anak-anak kami masih kecil. Pernah suatu kali, isteri penulis menyuruh salah seorang dari anak kami ke tetangga depan, untuk menyampaikan kalau isteri penulis tidak bisa hadir di acara PKK karena sedang demam Tetapi anak penulis menolak, dengan alasan gak bisa ngomongnya. Berulang kali dibujuk, akhirnya dia mau juga pergi, dengan catatan asal ditemani kakaknya, dan yang ngomong nanti kakaknya. Apakah alasan semacam ini juga setali tiga uang seperti kasus di atas ?
Karena teh yang penulis teguk di awal sudah terlanjur berasa pahit karena mendengar cerita isteri, maka sudah kepalang tanggung, seluruh teh di gelas keramik akhirnya penulis tenggak sampai habis. Mencoba mengurai apa sebenarnya yang terjadi. Kalau saja itu terjadi di salah satu atau salah dua atau salah tiga diantara anak-anak muda di lingkungan komplek, mungkin bisa dimaklumi. Tetapi kalau berderet macam kereta api whoss yang baru saja diresmikan, apakah ada sesuatu yang salah di lingkungan keluarga terdekat ? Penulis tidak berani menulis dan menghakimi sistem pendidikannya yang keliru.
Mungkin ada benarnya kata-kata amsal, si pemalas mencelup tangannya ke dalam pinggan, tetapi tidak juga mengembalikannya ke mulut. Dengan kata lain, akhirnya penulis dan isteri mencoba berdiskusi. Kalau ternyata kesimpulan ini benar, rasanya perlu disikapi dengan bijak. Maksudnya begini, kemudahan keluarga-keluarga muda dalam membangun rumah tangga tidak lepas dari subsidi orang tua masing-masing. Betul ? Tidak seperti ketika generasi penulis dulu akan berumah tangga. Semuanya harus siap siaga secara mandiri.
Nah, ketika kemudahan awal diperoleh, akan diikuti kemudahan berikutnya dalam pondasi ekonomi. Taruh saja, saat ada himpitan, dengan mudahnya si anak minta untuk membuka PIN anjungan tunai mandiri milik orang tuanya. Bahkan kalau perlu gesek kartu kredit yang bertebaran dimana-mana atau mempermudah diri dengan aplikasi pinjaman online.