Lihat ke Halaman Asli

Herman Utomo

pensiunan

Jagalah Hati

Diperbarui: 5 Januari 2023   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels-sora-shimazaki-5935755

Beberapa tahun yang lalu, saat saya masih aktif berdinas, saya mempunyai seorang pimpinan di kantor, yang boleh dikatakan tidak memiliki anggah ungguh. Setiap kali beliau bertemu atau memanggil staf atau bawahannya, tidak pernah sekalipun dia memanggil dengan awalan pak / bu atau dengan nama panggilan. Sekalipun usia staf atau bawahannya lebih tua darinya. Beliau selalu dan selalu berteriak memanggil “ hey…!!” baru diikuti dengan perintah atau instruksi.

Saat pertama kali saya dipanggil dengan “hey…” ada rasa kaget, bingung dan sempat berkata dalam hati…ini orang koq gak ada sopan santunnya sama sekali…. Tadinya saya mengira beliau mungkin lupa dengan nama anak buahnya. Tapi sekian lama saya perhatikan, ternyata itu sudah menjadi kebiasaanya. Seringkali saat kita diperlakukan seperti itu, bisa terjadi akan mempengaruhi sikap dan tindakan kita di kemudian hari. Kalau orang lain melakukan hal yang buruk kepada kita, kita juga bisa dan kepikiran akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi. Kalau mereka tidak sopan, kita juga bisa melakukan hal yang lebih tidak sopan lagi.

Kita tidak sadar, sikap kita sudah dipengaruhi oleh orang lain. Apakah ini sebuah dendam ? Bisa jadi. Dengan kata lain, di bawah alam sadar kita, secara psikis kita “menuntut” kepada orang lain harus bersikap baik kepada kita, sesuai standar kita. Dan kita tidak mengira bahwa rekam jejak tuntut menuntut bisa menempel kepada anak keturunan kita. Apalagi jebakan dalam mengarungi kehidupan ini begitu banyak variabelnya. Acapkali kita mengira anak kita berlaku baik-baik saja, karena bergaul dengan orang baik-baik. Apakah itu bisa menjadi jaminan ?

Kita punya keyakinan sesuai dengan nilai keimanan kita yang sudah dipatok paten. Apakah itu ? Kita punya prinsip, dengan melakukan perbuatan baik kepada semua orang, tanpa pandang bulu, entah itu bulu gajah atau bulu ayam. Dan ini diajarkan di semua agama di seluruh dunia Berharapnya, pasti orang lain juga akan berbuat yang sama sebagai imbal baliknya. Tetapi pada kenyataannya dan ini bisa terjadi saat dipraktekkan di lapangan. Keadaan bisa kebalikannya. Ini yang biasanya mengagetkan jantung kita.

Kejadian Gempa Cianjur tempo hari yang membuat banyak umat manusia perlu ditolong, salah satu contohnya. Ketika ada sekelompok orang yang peduli dengan sesama mengulurkan bantuannya, tetapi di sisi lain ada juga sekelompok orang yang berpandangan sempit untuk menolak mentah-mentah bantuan tersebut, dengan alasan tidak sepaham dengan kelompoknya  Mau marah ? Bisa saja. Tetapi itulah fakta di lapangan yang terungkap.

Jadi bagaimana kita bersiap dalam menjalani hidup ini. Tetap kita harus bersikap dan berperilaku baik terlebih dahulu kepada sesama, sekalipun lawan bicara kita berlaku tidak sepadan dengan apa yang kita mau. Seperti syair lagu...Jagalah hati…..jagalah hati…..

pexels-clara-832761

Untuk menjadi seorang  “Pemenang kehidupan”, perlu kewaspadaan dan kerelaan hati dalam penundukan diri. Bagaimana bersikap tetap sejuk di tempat yang panas, yang tetap manis di tempat yang sangat pahit, yang tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar,  tetap tenang di tengah badai yang paling hebat sekalipun.

Jadi pertanyaannya sekarang, kenapa untuk berbuat baik saja, kita harus menunggu orang lain memperlakukan kita dengan baik lebih dulu? Mari kita berkaca di cermin yang jernih dengan lapang dada, masihkan ada gambar diri kita ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline