Lihat ke Halaman Asli

Javadwipa

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada sebuah lagu, yang mulanya sejak dahulu, dan kini telah dilupa.

Agastya Hari Candana, penyayang dan pelindung pulau Jawa, sedang berduka.

Tak ada orang Jawa, yang hidup di masa ini, yang ingat apalagi sayang, padanya.

 

Akupun tak tahu, siapa orang pendek gemuk berkain batik itu.

Ia menyapaku, bertutur bagai hilang bijaksananya.

 

Pulauku, serunya, pulauku yang indah makmur.

Di manakah gerangan kini engkau?

Dahulu kudatang dari seberang, demi untukmu.

Kubangun engkau hingga berbudaya.

Dan kuwariskan engkau, karena kupercaya.

Bahwa anak muridku akan selalu ingat kataku.

 

Tapi kini mengapa jadi begini?

Dara cantik ayu mengapa menjual diri?

Penopang bangsa, mengapa menjadi pemangsa?

Penegak dan pengayom, mengapa tenggelam dalam nista mementingkan diri?

 

Pulauku yang indah, ke mana gerangan?

Mengapa kini tinggal tumpukan sampah di sana sini?

Dan tak ada yang peduli.

Mengapa rakyatnya bermata merah, berotak maling, dan berhati buaya?

 

Agastya, tanyaku, tunjukkan padaku Pulau Jawamu yang dulu.

Aku tak tahu seperti apa dan aku ingin tahu.

Yang kutahu dari sejarah memang rakyatmu sedari dulu begini.

Haus kekuasaan dan kekayaan serta mementingkan diri.

Dan sejak lahir sudah begini ini pulaumu ini.

Kotor, kumuh dan banyak lalatnya.

 

Oh tidak, katanya, dengarkan kisahku.

Aku datang dari seberang, dan dari seberang aku dengar.

Adanya suatu pulau indah di mana penduduknya tak kenal.

Kata lapar, kekurangan, ataupun keserakahan, ketidakadilan.

Alamnya indah, penduduknya ramah.

Sayang mereka tak berbudaya.

 

Maka terpanggillah hatiku untuk menjadi kekasihnya.

Setelah kululuhkan hati maha meru untuk tak lagi mendendam pada matahari,

Segera kukeringkan air samudera hingga dapat kulalui.

Pergi mencari pulau dambaan hati di selatan.

 

Dan betapa kutemui, sebuah pulau penuh gunung, subur tanahnya.

Hijau rimbanya kuning keemasan padinya.

Benar tak ada yang kekurangan, benar tak ada ketidakadilan.

Aku datang dan mereka mengenaliku.

Guru, seru mereka padaku, engkaulah pelindung kami.

Ajarkan pada kami, bagaimana kami menikmati berkat alam ini.

Tunjukkan pada kami bagaimana agar roh kegelapan tidak memasuki pulau kami.

 

Kubelai, kutimang, kubimbing, kudidik.

Kukecup, kupeluk, kupapah, kutuntun.

Kugantikan pakaiannya dengan budaya.

Kugantikan batunya dengan perkakas.

 

Pulauku tumbuh dari jabang jadi bocah.

Dari bocah jadi perawan cantik jelita.

Perjaka jadi raja, menata adil luar biasa.

Harta tercecer di jalan, tak ada yang akan mengganyang.

 

Budi luhur mulia, rakyat adil sejahtera.

Toleransi tinggi terhadap keberagaman.

Menolong sesama ataupun pendatang.

Benar seperti Surga turun ke Bumi.

 

Namun kusangka mereka telah dewasa.

Kutinggal mengembara dan perusak datang.

Bukan hanya merusak dara nan ayu.

Namun juga budi dan pandu.

 

Anakku malang, anakku malang.

Mengapa engkau tiada minta tolong.

Sangat disayang, sangat disayang.

Mengapa engkau justru senang dengan keadaanmu sekarang.

 

Kalau engkau menyenanginya.

Siapa yang dapat menolongmu.

Selama kau tak menyadarinya.

Tak ada harapan bagimu.

 

Meski aku telah kau lupa.

Telah kutanamkan bibit bibit pengharapan.

Biarlah ketika butir-butir air penyesalan membasahinya.

Pohon masa depan itu akan bersemi.

 

Agastya, Agastya, seruku kuatir.

Mau kemanakah engkau kini, ketika kulihatnya beranjak pergi.

Jangan tinggalkan kami, dalam keadaan begini.

Pulihkan dahulu pulaumu, pulau kami, sang javadwipa ini.

 

Sudah cukup waktuku di sini.

Tak ada yang dapat kulakukan sampai tangis terjadi.

Sementara ingatkanlah akan jaman keemasan dahulu.

Penuhilah bibit muda dengan idola kebaikan.

Bangunkanlah kebanggaan sekaligus penyesalan.

 

Tumbuhkanlah mimpi dalam jiwa-jiwa muda,

Sebarkan teladan masa lalu dalam benak bocah-bocah,

Generasi kini biarlah berlalu,

Berharaplah pada anak cucu mereka, putra-putri kekasihku

 

Maka pergilah ia, sang Agastya, sekali lagi,

Yang datang dari masa lalu berselaput kabut,

Dan pergi ke masa depan dengan sinar remang,

Secercah harapan bagi pulau tersayang,

Sang Javadwipa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline