Seorang Kyai, Guru saya, di Kampung, suatu ketika pernah mengatakan: Hendaklah engkau selalu berhati-hati, bahkan meski dengan dosa-dosa kecil, Muridku. Bahkan harus lebih hati-hati, lebih waspada, dan lebih takut, ketimbang ketakutanmu dari meminum racun ular yang mematikan. Setiap dosa, setiap maksiat, akan berbahaya bagi hati, Muridku, sebagaimana berbahayanya racun bagi tubuh. Dan, menjaga hati, jauh lebih utama bagi seorang murid, penempuh jalan spiritual, thariqah, ketimbang sekedar menjaga kebugaran dan keselamatan tubuh.
Sebuah pesan yang selalu saya ingat. Karena bahayanya yang sangat jelas. Jika menjaga kebugaran tubuh, kesehatan tubuh, adalah menjaganya dari keterjangkitan penyakit, mengusahakan keterhindaran dari kerusakannya, dan kematiannya; padahal, kematian, tidak jarang justru berarti keterlepasan dari penderitaan dunia. Sedangkan menjaga hati?
[+] “Kerusakan Hati, akan berarti kerusakan pula akhiratmu, Muridku, dan kalau dunia hanyalah kehidupan sementara, meninggalkannya memang sudah sepatutnya juga, karena tidak ada yang abadi di dunia ini, maka akhirat adalah kehidupan yang kekal, Muridku,” demikian, suatu ketika guru saya.
Memang. Kehidupan dunia adalah kehidupan sementara. Hanya sekejab mata, atau kurang, kalau dibandingkan dengan keabadian kehidupan akhirat. Bahkan, kehidupan dunia adalah penjara, tidak ada kesenangan dan kegembiraan yang berlangsung lama. Sebaik apapun kita memperjuangkan dan menjaga kebahagiaan duniawi, ia tidak akan berlangsung lama. Impermanent. Sekedar passing parade phenomen. Muncul sebentar, dan lalu menghilang.
Sedangkan dosa, atau maksiat, sekecil apa pun, ia akan menjadi noda hitam, bintik hitam yang akan menempel di hati. Dan ini akan menjadi kegelapan bagi hati, yang tentu saja akan menjadi kegelapan bagi perjalanan kita di dunia ini, dan juga kegelapan hingga di perjalanan panjang dan abadi di akhirat kelak.
[+] “Hindari, hindari sungguh-sungguh, semua dosa besar, Muridku, dan niscaya kegagalan-kegagalanmu dalam menjaga diri dari dosa-dosa yang kecil akan diampuni,” demikian, suatu ketika guru saya.
Insya Allah. Tapi, saya tertarik dengan “menahan diri dari dosa-dosa kecil", dan ingin melihatnya dari sisi “proses” pembelajaran. Menahan diri dari dosa-dosa kecil, bagi saya, bisa berarti, memulai selangkah demi selangkah, dengan yang kecil-kecil terlebih dahulu. Misalnya, menahan diri untuk tidak membalas dengan amarah, ketika ada seseorang memepetmu atau menyenggolmu di jalan. Atau, menahan diri untuk tidak melanjutkan pandanganmu, atas hal-hal yang bukan hakmu, tapi yang menggairahkanmu. Atau, menahan diri untuk tidak larut dalam perdebatan, meski misalnya engkau merasa di pihak yang benar. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Menahan diri dari syahwat-syahwat kecil ini, sekali pun kecil; ia tetap tidak nyaman. Tapi, justru, belajar dari ketidaknyamanan-ketidaknyamanan kecil ini, belajar menanggungnya; adalah langkah awal. Diharapkan, dengan latihan-latihan kecil ini, kesanggupan kita pun akan menguat dan membesar. Sehingga, kelak, atas syahwat-syahwat yang lebih besar, dorongan-dorongan keinginan yang lebih besar pun, dengan resiko ketidaknyamanan dan bahkan “keperihan” yang lebih besar pula; kita akan memiliki kesanggupan untuk menahannya.
Dan, dengan ini semua, mudah-mudahan, hati kita akan menjadi, tidak hanya, bersih cemerlang, tapi juga ridha, damai, dan/dalam berserah diri kepada-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H