Katakanlah, kita sudah berhasil menentukan batas, dan telah mengatakan dengan jelas dan tegas perintah "Cukup, Enough" kepada Nafs, dan perahu kehidupan kita telah ringan, dan cermin hati kita sudah tidak terlalu kotor lagi dengan iri, cemburu, tamak, amarah, dan lain-lain penyakit hati, yang merupakan bawaan inhern dari cinta dunia, maka apa hal selanjutnya yang perlu kita perhatikan?
Menurut saya, tugas kita berikutnya adalah mulai memberikan perhatian dan effort lebih bagi kehidupan akhirat kita.
Dimulai dengan memastikan, agar tugas-tugas duniawi kita, yang masih tersisa, tidak sampai menjadi pengganggu dan penghalang bagi tugas-tugas ukhrawi kita; menjadi pengganggu dan penghalang, seperti, membuat kita malas, atau membuat kita kelelahan dan lemah, membuat kita terganggu dengan kegelisahan, kekhawatiran, keraguan, dan lamunan-lamunan, dan seterusnya dan seterusnya.
Tidak ada cara lain, pengganggu-penghalang ini, hanya perlu kita buang, jika ada kita temukan. Titik. Karena, itu semua jelas-jelas, no doubt, adalah bagian dari tipu daya syaitan. Dan kita patut berlindung kepada Allah Swt dari segala godaan syaitan.
Untuk selanjutnya, usaha-usaha sistematis, yang mungkin akan membantu, perlu juga kita coba laksanakan.
[+] Pertama-tama, cobalah, di pagi hari, atau bahkan malam hari sebelumnya, engkau susun dan tentukan planning, atau rencana, harian amal-kebajikan yang akan engkau lakukan untuk hari itu," demikian, suatu ketika Guruku berkata.
[-] Yang kedua, apa, Guru?" selanjutnya aku bertanya, ketika menyadari, Guruku telah terdiam dalam waktu agak lama.
[+]Tentu saja buat persiapan yang dapat dilakukan. Ini akan sangat membantu memudahkan. Misalnya, jika engkau berencana untuk berbagi dengan pengemis yang engkau temui di jalan, maka siapkan uangmu. Hal sederhana seperti ini, betapa sering membuat rencanamu gagal, jika engkau abaikan? Awalnya berniat berbagi dengan pengemis, tapi, ketika engkau berpapasan dengan mereka, dan engkau baru menyadari kalau engkau tidak membawa uang receh, bukankah engkau bahkan melengos, dan terkadang, karena seperti tidak siap, dan merasa "ditodong", engkau bahkan merasa kesal?"
[-] Apakah masih ada lagi, Guru?" sekali lagi aku bertanya.
[+] Tutup harimu, sebelum engkau membaringkan badanmu yang kelelahan, dengan muhasabah, mengevaluasi diri. Lihat apa rencana-rencanamu, dan lihat apa yang telah kamu capai, dan apa yang kamu masih gagal. Bersyurkulah untuk semua pertolongan dan anugerah-Nya atas keberhasilan-keberhasilanmu, dan teruslah berdo'a mohon bimbingan dan petunjuk dan kekuatan, untuk apa-apa yang kamu masih belum berhasil."
Tentang rencana, yang dalam general term ini disebut rencana, sebenarnya, dalam cara lain ia disebut niat. Dan rencana, atau niat ini; tidak saja bermanfaat untuk memberi kita arah dan focus, sehingga kita akan lebih berhasil dengan pelaksanaannya, tapi, rencana dan/atau niat ini, juga bernilai positif di sisi-Nya.
Tidak saja untuk rencana dan/atau niat yang berhasil dalam pelaksanaannya, bahkan yang gagalpun, Dia tetap memberinya nilai positif, sebagai tabungan kita di akhirat kelak.
Itulah makanya, di dalam tradisi masyarakat Islam, terdapat ajaran untuk "manteg" niat. Di dalam segala amal-ibadah, niat selalu menjadi rukun yang paling pertama; shalat, puasa, haji, zakat, dan lain sebagainya, khususnya semua ibadah yang disebut dengan ibadah mahdhah, tapi sebenarnya, juga, ia, niat, adalah untuk semua ibadah yang lain, yang disebut dengan ibadah ghairu-mahdhah.
Dan niat, satu-satunya niat, bagi masyarakat Islam, adalah untuk Allah, untuk taqarrub ilallah, mendekatkan diri kepada Allah, tidak ada lain. Tradisi masyarakat memulai segala sesuatu dengan mengucapkan basmalah, "Bismillah -- Dengan Nama Allah", adalah bagian dari manteg niat ini.
Sehingga, kita paham, dalam hal ini, semua amal-ibadah, yang jika tidak diniatkan untuk Allah, untuk taqarrub ilallah, maka ia akan sia-sia, tidak bermakna di sisi-Nya, akan tetapi sebaliknya, semua perbuatan, asalkan ia baik di dalam dirinya, atau mubah, boleh, jika ia diniatkan untuk Allah, untuk taqarrub ilallah, maka ia akan bermakna di sisi-Nya.
Ketika Baginda Rasul Allah Saw hijrah ke Madinah, tentu atas petunjuk Allah Swt, ternyata terdapat juga orang-orang yang ikut Baginda Rasul Allah Saw hijrah, tapi yang ternyata karena alasan perniagaan yang hendak dikerjakannya di Madinah, atau karena seseorang yang hendak dinikahinya; maka perjalanan mereka dinilai sia-sia, tidak ada nilai apa pun di sisi-Nya kelak, meskipun secara tampak mata seperti hijrah mengikuti Allah dan Rasul-Nya.