Lihat ke Halaman Asli

Herman Hidayat

Karyawan Swasta

"Maqam"

Diperbarui: 27 Maret 2018   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Keinginan untuk Lepas dari Urusan Duniawi, padahal Allah membekalimu dengan Sarana Penghidupan, adalah Syahwat yang Samar. Sedangkan Keinginanmu untuk Mendapatkan Sarana Penghidupan, padahal Allah telah melepaskanmu dari Urusan Duniawi, adalah suatu Kemunduran dari Cita-Cita Luhur" (Al Hikam, Ibn 'Atha'illah). Tapi, aku tidak tahu jenis kehidupan dan penghidupan seperti apa yang memungkinkan seseorang bisa tidak usah bekerja mencari uang, mencari nafkah, dan dapat menyerahkan keseluruhan waktu dan hidupnya untuk beribadah. Setidaknya, kebanyakan orang seperti aku, perlu menghabiskan waktu sedikitnya 10 jam sehari dan 5 hari seminggu di tempat kerja. Hanya toh ini semua tidak usah disesali juga; karena tempat kerja dan kerja itu sendiri pun masih juga dapat menjadi ladang amal, ladang ibadah.

Sekedar tersenyum terhadap teman kerja, menyingkarkan duri dari jalan ketika kita berangkat kerja, membantu meringankan teman kerja, yang sedang kesulitan atau tidak, mengajarkan sesuatu, menyebarkan cinta dan kegembiraan; semua itu, kata siapa bukan amal dan bukan ibadah? Adapun dengan uang yang kita peroleh dari kerja; kita dapat berbagi dengan fakir miskin, yatim piatu, janda-janda, orang-orang tua sepuh yang sudah renta tulangnya untuk mencari nafkah. Bahkan memberi nafkah untuk keluarga; itu pun terhitung ibadah di hadapan-Nya.

Sangat beragam dan banyak amal-ibadah yang dapat kita lakukan di tempat kerja dan sambil bekerja; meski tentu saja terbatas, dan sedikit banyak tidak memberi kesempatan untuk melakukan ibadah-ibadah khusus, yang memang memerlukan waktu dan perhatian khusus. Tapi, kalau Allah telah dan masih menempatkan kita pada situasi dan kondisi dengan keharusan untuk bekerja mencari nafkah; maka ini adalah tempat terbaik bagi kita saat ini. Inilah maqam kita saat ini.

Menginginkan maqam selain ini, berarti tidak bersyukur atas Anugrah-Nya, padahal ini pastilah yang terbaik bagi kita sendiri. Menginginkan lepas dari Urusan Duniawi ini, dan menginginkan sepenuhnya Beribadah; bisa saja sekedar angan-angan kosong, tidak realistis, dan lebih ke sekedar keinginan untuk melarikan diri, ntah dari kemalasan bekerja, atau dari tekanan-tekanan tertentu di tempat kerja. Atau, bahkan boleh jadi sekedar berasal dari dorongan Syahwat Yang Samar, seperti misalnya menginginkan keharuman nama, atau setidaknya menginginkan diri seperti orang lain, dan mungkin sekedar karena iri dan cemburu.

Sedangkan, bila Allah telah melepaskanmu dari keharusan untuk mencari nafkah, meski aku sendiri tidak tahu seperti apa maqam itu, lalu engkau masih juga menginginkan urusan duniawi itu; maka itu adalah tanda-tanda kemunduranmu dari harkat-martabatmu yang Luhur.

***

Mungkin maqam kita memang masih pada maqam untuk bersibuk dengan Urusan Duniawi ini, mencari Nafkah untuk diri dan keluarga; tapi meski tidak mutlak, sedikit banyak, menurutku, bisa juga kita mencoba mencicipi kenikmatan ber-khalwat, beribadah secara intensif ini, disana-sini. Kita dapat mencoba memaknai maqam tidak harus sebagai maqam permanen, jangka panjang, melainkan dapat saja sekedar maqam sementara, kesempatan-kesempatan pendek.

Misalkan saja, engkau saat ini tengah dianugrahi keringanan hati, tidak disibukkan hatimu oleh urusan-urusan duniawi, mungkin saja saat itu engkau tengah dianugrahi Allah kesempatan mencicipi maqam "sementara" Keterlepasan dari Urusan Duniawi. Maka mungkin saat itulah engkau dapat meningkatkan ibadah-ibadahmu secara lebih intensif, dapat lebih fokus mengurusi hal-hal ukhrawimu, akhiratmu dan batiniahmu; tanpa terjebak kategori Syahwat Yang Samar. Meski mungkin itu hanya dalam satu dua hari. Atau satu dua minggu. Yang jika sebaliknya, dalam kondisi itu; engkau masih juga tetap menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi-mu, seolah engkau akan hidup selamanya, maka mungkin engkau memang tengah terjebak dalam Kemunduran Batiniah. Ke-Alpa-an Batin.

Disela-sela jadwal Kerja harian, mingguan dan tahunan; engkau juga memiliki weekend rutin, kadang long weekend, Liburan Hari Besar Nasional atau Agama Tertentu, Cuti Tahunan, dan bahkan ada kalanya Cuti Besar dalam 3 Tahunan, misalnya. Semua ini tentulah Anugrah-Nya juga; dan tentu dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan-kesempatan pendek untuk meng-khusus-kan diri ber-ibadah, membenahi hal-hal batiniah dan menyiapkan ukhrawimu, akhiratmu.

Dan last but not least; engkau akan pensiun pada saatnya, dengan kecukupan bekal yang pantas untuk tahun-tahun mendatangmu, tidak-kah itu berarti Allah telah melepaskanmu dari Urusan Duniawi-mu.

Kalau bukan itu saat-mu; lalu kapan lagi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline