Lihat ke Halaman Asli

Herman Efriyanto Tanouf

Menulis puisi, esai, artikel lepas

Puisi-Puisi yang Menjijikkan

Diperbarui: 30 Juli 2019   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Koran Kompas/ Ipong Purnama Sidhi

Mengekspresikan ide dalam tulisan, khususnya karya sastra (puisi) dengan kata/ frasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari berkontribusi terhadap apresiasi suatu karya. Lebih lagi, kalau frasa tertentu terlampau sering digunakan. Sebagian dari sebuah karya dianggap klise. Akibat selanjutnya tentu mempengaruhi pemaknaan karya secara utuh (unity).

Bukan masalah jika kelompok kata/ frasa dimaksud digunakan, itu sah-sah saja. Tetapi faktor keseringan dapat mengundang minimnya apresiasi yang tulus dari pembaca.

Si kreator dianggap tidak mampu menghasilkan karya yang orisinil dan tidak inovatif apalagi produktif. Sebab puisi sebagai karya sastra menghendaki adanya kreativitas mumpuni dari penciptanya. Jangan sampai proses kreatif adalah wujud dari sejumlah kata/ frasa yang telah dikonsumsi publik (imitative).

Pada umumnya kecenderungan untuk menghasilkan karya puisi dengan potensi klise memuakkan dilakukan oleh pemula. Bisa saja saya atau mungkin Anda yang menaruh kecintaan terhadap puisi.

Dimaklumi, sebab jalan menuju kematangan (profesionalitas) memang membutuhkan tahapan. Banyak kealpaan ataupun kesalahan bisa saja dilakukan di sana-sini.

Konon, kesalahan bisa merubah seseorang. Namun kesalahan berantai-beruntun adalah tindakan yang tidak bermartbat. Konsistensi untuk matang dalam berkarya sudah sepantasnya menjadi prioritas.

Memang, sastra sebagai karya fiksi menjanjikan sederet imaji liar (puitif). Tetapi bukan berarti serta-merta menggunakan kelompok kata/ frasa klise. Sebuah karya yang seharusnya estetis malah memuakkan. Adalah tanggungjawab bahwa individu sebagai pencipta karya dikehendaki untuk keluar dari zona nyaman. Pilihan dan putusan untuk menggeluti dunia perpuisian berarti berani untuk "lahir" sebagai kreator yang produktif dan inovatif.

Kata-kata klise dalam puisi berhubungan erat dengan stigma. Ketika membaca atau mendengar kalimat (konvensional) tertentu, sudah ada bayangan akan siapa pencipta/ penulisnya. Hakikatnya, suatu karya yang berkarakter identik dengan siapa penulisnya.

Sebagai contoh, aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Frasa tersebut ketika dibaca atau didengar, maka sosok yang hadir di benak pembaca adalah Sapardi Djoko Damono. Itu pun kalau si penulis mengenal sang Maestro dalam karya atau sempat menjumpainya. Nah, frasa yang sama ketika digunakan oleh siapapun entah pemula atau profesional, frasa tersebut tetaplah "milik" Sapardi.

Terkait penggunaan kata-kata klise dalam berpuisi, Mikael Johani (MJ), Penyair dan Esais, menilai bahwa umumnya media-media besar yang menyediakan rubrik puisi masih mengandalkan karya-karya dengan potensi kata-kata klise. MJ dalam penilaiannya itu malah mendorong para penyair yang karyanya belum sempat 'tembus' meja editor untuk menggunakan kata-kata klise, sok puitis, chairilanwaris, nirwandewantois.

Selain merupakan kritik atas puisi-puisi di masa kini, MJ sebenarnya ingin mengungkapkan keprihatinannya pada proses kreatif para penyair itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline