Lihat ke Halaman Asli

Herman Efriyanto Tanouf

Menulis puisi, esai, artikel lepas

Suara yang Dirindukan Orator

Diperbarui: 5 Maret 2019   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: dasunbehagen.org

Beberapa kali kita bersuara menolak bungkam
tangis ibu kehilangan kulum bayi, bayi kehilangan puting ibu
bocah merah putih hilang naung
petani-petani hilang ladang
alam disunting kelam, musim-musim telat mampir
pantai kehilangan buih, ibu bumi luka
para bandit buncit di istana, hujan hujat pada-Nya
ah, banyak.

Begitu asyik, kita
suara menggema dimana-mana, sesaki ruang raung
tapi beberapa saat lalu kau dan aku, tak ingin
saling usik, lupa tentang suara
hati paling sepi.
Ada jurang, di sana
kau mengintip-menanti, aku
mengalah. Suaraku memanggil-manggil namamu
kau dengar tapi seakan tak ada angin dan telinga
beberapa kali aku coba, masih sama
tak ada jawab, ada gelisah, malu lalu hilang
tapi tidak dari hatimu.

Aku memang memilih hengkang
pergi kepada rindu, suaramu itu.
Aku tahu, matamu masih mengintip lototku di setiap nyenyak
walau suara kau kulum.
Tidakkah kau tahu, aku merindukan suara itu?

Aku bosan mendengar suara
negeri serasa ngeri.

Kupang, 2017/2019

Komunitas Penulis Kompasiana Kupang dan NTT (KampungNTT)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline