Lihat ke Halaman Asli

Herman Efriyanto Tanouf

Menulis puisi, esai, artikel lepas

Kalau Saya Tidak Menulis, Saya akan Mati

Diperbarui: 26 Februari 2019   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sastrawan Gerson Poyk (foto: Kompas/ Mathias Hariyadi)

 

Tubuhnya telah kembali menjadi debu tanah. Fatukoa ialah rahim yang menjadikan namanya abadi dalam nisan. Demikian Herson Gubertus Gerson Poyk yang akrab disapa Gerson Poyk meninggalkan dunia sastra dua tahun silam. Ia 'telah mati', tapi senantiasa ada dan hidup di dalam karya-karya. Di benak rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya para penikmat dan pegiat sastraGerson Poyk adalah salah satu Pelopor Sastra NTT selain Virga Bellan dan beberapa tokoh lainnya.

24 Februari 2019, genap dua tahun Sastrawan Indonesia, Gerson Poyk meninggal dunia. Gerson Poyk menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Hermina, Depok, Jawa Barat pada 24 Februari 2017. Jenazah Gerson Poyk kemudian disemayamkan di rumah keluarganya, Jln. Dua Lontar, Kayu Putih, Kota Kupang dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Fatukoa, Kupang pada tanggal 26 Februari 2017. Selama disemayamkan, karya-karyanya dibacakan oleh para penulis (sastrawan), seniman, dan juga keluarganya.

Opa Gerson, demikian sapaan yang diberi oleh para penikmat dan pegiat sastra kepada beliau. Secara pribadi, kami bertemu pertama kali dalam event Temu II Sastrawan NTT 2015 di Ende, Flores. Diam-diam saya berusaha untuk bisa berkomunikasi bersama beliau. Tapi selalu saja gagal oleh berbagai kesibukan beliau di sana.

Setelah pertemuan itu, segala cara saya tempuh untuk bisa komunikasi bersama Opa Gerson. Hampir setahun saya menanti momen itu. Hingga pada tanggal 16 Juni 2016, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-85, secara tidak langsung saya berkomunikasi bersama beliau. Melalui surel (email) yang difasilitasi anaknya Ibu Fanny Jonathan Poyk saya memberikan beberapa pertanyaan kepada Opa Gerson. Rasa bangga sekaligus haru, sebab saat itu beliau menjawab setiap pertanyaan dalam kondisi sakit (terbaring lemah di tempat tidur).

Percakapan itulah yang saya katakan 'momen berharga' bersama Gerson Poyk, almarhum. Tidak hanya sebatas ulang tahun kelahiran, tetapi lebih dari itu ialah kesempatan mendapatkan pengetahuan seputar sastra sekaligus 'berguru'. Sepak terjangnya dalam dunia sastra sangat inspiratif dan motivatif. Kini di ulang tahun meninggalnya, saya hadirkan lagi percakapan itu sebagai kenang yang senantiasa abadi.

Gerson Poyk dan Karya Sastra (Simpulan Percakapan)

Gerson Poyk yang lahir di Namodele (Rote Timur), 16 Juni 1931 ini menggeluti dunia seni (sastra) sejak tahun 1950-an. Ia mengawali karyanya dengan berpuisi dan bermain drama. Sejak tahun tersebut hingga masa tuanya, banyak karya yang telah dihasilkan. Ia sendiri lupa sudah berapa banyak karya yang dihasilkan, "ratusanlupa menghitungnya,hahaha."

Dalam percakapan itu, hanya Mutiara di Tengah Sawah (Cerpen, 1961) dan Sang Guru (Novel, 1973) yang sempat diingat Gerson Poyk dari sekian banyak karya perdananya.

Dalam berkarya, Gerson Poyk banyak dipengaruhi oleh lingkungan (tanah kelahiran), pengalaman dan orang-orang di sekitarnya. Faktor yang melatarbelakangi sekaligus menjadi motivasinya dalam berkarya adalah kisah-kisah masa kecil selama di Ende, Ngada, Ruteng (Flores), So'e, Kupang (Timor), Rote, Alor, dll. Kenangan tentang masa kecil di kota-kota kecil itu yang menjadikan niatnya makin kuat untuk bergelut di dunia sastra.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline