Lihat ke Halaman Asli

Herman Efriyanto Tanouf

Menulis puisi, esai, artikel lepas

E-sports Masuk Kurikulum Pendidikan, Rencana "Antagonistik"

Diperbarui: 6 Februari 2019   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: esports.id

Merebaknya Electronic sports (Esports) telah merasuk ke berbagai bidang kehidupan manusia. Keberadaannya tidak lagi menjadi hiburan (individu) semata. Selain sebagai media untuk menyalurkan hobi, Esports kini menjadi ladang penghasilan (ekonomis) sekaligus "ajang" unjuk popularitas, baik secara individu maupun komunal.

Hal tersebut ditandai dengan adanya para gamer profesional. Sebut saja Johnathan Fatal1ty Wendel, gamer asal Amerika yang memenangkan beberapa kompetisi dan berpenghasilan miliaran rupiah. Di Indonesia ada Monica Carolina, Daylen Reza dan sederet nama lainnya yang berpenghasilan ratusan juta rupiah dari dunia game.

Sebagai "olahraga" yang mengandalkan video game, Esports membutuhkan pengetahuan dan keterampilan mumpuni dari para gamer. Sebab "olahraga" kompetitif yang satu ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang pandai berstrategi (dalam aplikasi). Artinya, kerja otak, rasa dan keterampilan berjalan seimbang. Belum lagi biaya sebagai kebutuhan mendasar agar dapat mengakses "olahraga" tersebut. Mahal, itu sudah pasti.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan membuka program studi terkait Esports di beberapa perguruan tinggi untuk mengasah potensi para pencinta game

Sudah tentu ada kurikulum pendidikannya setelah melewati berbagai tahap, semisal penelitian kolaboratif para akademisi, gamer professional, calon gamer hingga pengaruhnya terhadap masyarakat sebagai pihak pendukung. Penelitian kolaboratif mengindikasikan layaknya Esports sebagai salah satu pilihan program studi.

Di Indonesia, melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sudah ada rencana untuk memasukkan Esports dalam kurikulum pendidikan. Bahkan sudah ada persiapan (anggaran) sebesar 50 miliar rupiah, angka yang sangat fantastis. Rencana tersebut ditandaskan oleh Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).

Bukan tanpa alasan, Menpora mengeluarkan pernyataan tersebut. Bisa saja dilatarbelakangi oleh minat kawula muda Indonesia akan Esports yang kian meningkat (kuantitas)Di kota-kota besar kompetisi Esports terus digaungkan.

Belum lama beberapa event Esports dibuka secara beruntun. Diantaranya Piala Presiden Esports 2019 yang dicanangkan oleh Kemkominfo (28/1/2019), Youth National Esports Championship yang diselenggarakan oleh Garena dalam program Garena Goes to School (29/1/2019) dan akan menyusul Piala Menpora pada bulan September 2019. Melalui event-event tersebut, Menpora bahkan berkeinginan menjadikan Esports sebagai masa depan kita dan masa depan Indonesia.

Kemenpora dan kementerian lain/ pihak-pihak terkait patut diapresiasi karena telah mengupayakan industri Esports di Indonesia selangkah lebih maju. Diselenggarakannya beberapa kompetisi tersebut adalah langkah konkret bagi pemerintah dalam mendukung dan memberdayakan para pencinta Esports.

Ke depan melalui Esports, Indonesia akan melahirkan lebih banyak lagi gamers pro. Selain mengharumkan nama Indonesia di mata dunia dan menjadikan individu popular, gamers bisa mempertebal dompet dengan berbagai bentuk apresiasi. Artinya akan bermunculan miliarder-miliarder berkelas.

Esports sebagai ajang kompetitif akan tetap diterima publik (sebagian besar) kalau tetap sebagai pilihan "olahraga" individu atau komunitas tertentu. Jika dimasukkan dalam pendidikan formal (kurikulum), maka rencana Kemenpora adalah suatu usaha antagonistik. Bukan dalam konsep "memusuhi" tetapi rencana yang telah dikonsumsi publik perlu dipertimbangkan lagi (belum saatnya di kekinian).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline