Lihat ke Halaman Asli

Herman Efriyanto Tanouf

Menulis puisi, esai, artikel lepas

Senandung Rimba

Diperbarui: 5 Februari 2019   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: topsimages.com

Nyanyian tentang adagio senandung rindu
bukan elegi bertawar kabung galau
tapi tentang kejahilan yang menyisakan luka
pada gugur rimbun berbalut duka

Kemarin, adaku menjanjikan uap segar bayu
menyesak hampa kepak pundi dan batang paru
hingga lidah-lidah tiada menjulur layu
mengecap butiran embun di tengah kemarau

Kemarin, adaku siratkan mata air firdaus
kala seribu serabut menghisap tetesan surga
darinya dahaga membunuh haus
tiada ratap dan tetes air mata

Kini, air mata mengubang nanah
meratapi tetes akhir mata air sembah
sebab serabut-tunggang bahkan rimbunku dikepang
oleh jahilnya telapak tangan dusun dalam tebang

Tangis langit yang menjelmakan rintik hujan
kini tiada teduh, mewadah
segala telah direnggut badai serakah
menghempasku pada kehampaan

Tahukah mereka bahwa Tuhan memisahkan langit dan bumi
menyisakan ruang di kolong hampa
agar aku bebas berhembus ke empat penjuru mata angin
memberi nafas pada segala ciptaan?

Aku tengah merindukan rimbunku kemarin
adakah mereka merindukannya?

Kupang, 16/19
HETanouf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline