Lihat ke Halaman Asli

Kali Ini Kesalahan Detik.com Terlalu Fatal

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Delapan kesalahan dalam satu berita sungguh susah diampuni. Apalagi isi berita ini sangat sensitif.

Baru sehari membuat kuis sederhana mengenai kesalahan sebuah berita Detik.com, saya menemukan sebuah berita lagi di Detik.com yang ngawurnya sungguh keterlaluan.

Berita itu berjudul Albertina Ho, Hakim yang Bebaskan Terdakwa Korupsi Kuburan Rp 27 M. Ditulis Andi Saputra, berita itu tayang pada Kamis, 9 Februari 2012, pukul 15:05 WIB.

Pertama, judul berita itu mengesankan seolah-olah putusan itu hanya dibikin oleh Albertina Ho. Ini dipertegas deskripsi di paragraf enam yang berbunyi:

Dalam catatan detikcom, Andi dibebaskan oleh ketua majelis hakim PN Jaksel, Albertina Ho. Dalam putusan bernomor 363/Pid.B/2010 tersebut majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Albertina juga memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan.

Jika kita mengerti sedikit saja tentang hukum, kita akan geleng-geleng kepala membaca judul dan deskripsi di paragraf enam itu. Faktanya, putusan dibuat oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim.

Albertina Ho adalah ketua majelis hakim. Dan perlu diketahui bahwa sebuah putusan tidak hanya dibuat oleh ketua majelis hakim, tapi juga oleh dua anggota majelis hakim.

Terus terang, saya sendiri tidak habis pikir. Mengapa media sebesar Detik.com melakukan kesalahan semendasar itu? Apakah mereka berpikir bahwa seluruh pembaca buta hukum sehingga manggut-manggut saja disodori berita cacat seperti itu?

Kedua, harus diluruskan bahwa kasus ini bukan hanya mengenai pengadaan tanah untuk pemakaman atau kuburan, melainkan juga untuk pertamanan. Dengan demikian, penjelasan Detik.com di paragraf ke-2 kurang lengkap.

Ketiga, Detik.com mengarang cerita ketika menyajikan paragraf berbunyi:

Dalam praktik terjadi penggelembungan harga oleh para pejabat terkait. Dari anggaran dialokasikan Rp 500 ribu per meter. Namun para pejabat justru melaporkan ke negara, dana yang dibutuhkan sebesar Rp 1 juta per meter.

Sesuai fakta persidangan, sebagaimana dapat kita baca di putusan, anggaran yang dialokasikan bukan Rp 500 ribu, tapi sesuai NJOP yakni Rp 1.032.000 untuk tiap meter persegi.

Mestinya Detik.com menyatakan bahwa dari harga sesuai NJOP, yang dibayarkan oleh terdakwa kepada pemilik tanah hanya Rp 500 ribu per meter persegi.

Keempat, Detik.com menyatakan bahwa kasus ini telah ‘menjebloskan’ belasan nama. Dari banyaknya terdakwa, menurut Detik.com, Andy Wahab adalah salah satu yang lolos.

Kita perlu bertanya: benarkah ada banyak, bahkan belasan, terdakwa dalam kasus ini?

Sejauh ini faktanya hanya ada dua orang yang jadi terdakwa. Pertama adalah Kasubbag Pembinaan Biro Perlengkapan Pemda DKI Jakarta, Andy Wahab. Dan kedua adalah seorang makelar tanah bernama Teguh Budiono.

Sebenarnya ada satu nama lagi yang akan diseret ke pengadilan, tapi dia keburu meninggal. Dia adalah Zainuddin Tohir, Asisten Tatapraja Sekkodya Jakarta Selatan selaku Wakil Ketua Panitia Pengadaan Tanah.

Kelima, sebagaimana banyak media lain, Detik.com melanggengkan kebiasaan buruk: hanya menyebut hukuman yang dituntut jaksa penuntut umum, tanpa menyebut pasal yang digunakan untuk mendakwa.

Perhatikan paragraf berikut ini:

Putusan tersebut bertolak belakang dengan tuntutan jaksa Fahrizal yang menuntut agar Andi dihukum 17 tahun penjara. Juga dihukum denda Rp 200 juta dan diharuskan membayar ganti rugi Rp 26 miliar, subsider kurungan selama 8 tahun.

Mestinya Detik.com menjelaskan, saat itu pihak jaksa mendakwa menggunakan Undang-Undang apa, pasal berapa, mengenai apa.

Keenam, imbas dari poin kelima tadi, timbul kesan seolah-olah majelis hakim tidak peka terhadap rasa keadilan. Karena sesungguhnya berita yang ditulis Detik.com ini tidak menyangkut peristiwa yang sangat aktual (putusan tingkat pertama dibuat pada Agustus 2010 dan putusan kasasi dibuat pada 9 Juni 2011), apalagi data pendukungnya cukup melimpah, mestinya Detik.com menjelaskan unsur-unsur apa saja yang dinilai majelis hakim tidak terbukti.

Bukankah sebuah putusan tidak nongol dari ruang hampa? Bukankah majelis hakim tidak bisa memutus perkara tanpa terlebih dahulu mempelajari argumen jaksa dan argumen terdakwa plus pengacaranya?

Ketujuh, Detik.com menyatakan Andy Wahab diputus bebas oleh Mahkamah Agung. Majelis hakim kasasi yang memutus perkara ini diketuai Imron Anwari, dengan anggota Suwardi dan Rehngena Purba.

Mengapa di tingkat kasasi Mahkamah Agung memutus bebas? Lagi-lagi Detik.com tidak menyodorkan penjelasan, meski secuil.

Majelis hakim kasasi di MA menyatakan bahwa permohonan kasasi jaksa penuntut umum tidak dapat diterima. Majelis hakim menilai jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan bahwa putusan PN Jakarta Selatan itu merupakan bebas tidak murni. Nah, mestinya yang begini dipaparkan juga, walau selintas.

Kedelapan, beritayangdibuat Detik.com ini sejatinya sangat sensitif, karena menyangkut track record seseorang. Albertina Ho sebelum ini dikenal sebagai hakim yang bersih dan berani. Tanpa bermaksud membelanya, mestinya Detik.com menyajikan berita dengan cover both sides.

Ya, supaya tidak terkesan memojokkan individu tertentu, seharusnya Detik.com meminta tanggapan orang yang sedang ‘dirasani’, walau yang didapat sekadar “no comment”. Dengan begitu, ada itikad baik untuk menjadikan berita ini lebih berimbang.

Kritis dan memojokkan orang adalah dua hal berbeda. Peran sebagai watch dog bukan berarti bebas menggonggongi apa saja di mana saja. Semua ada rambu-rambunya. Pers pun punya aturan main. Kalau tak percaya, tanyalah Bagir Manan—Ketua Dewan Pers yang dulu Ketua Mahkamah Agung itu.

Rawamangun, 12 Februari 2012

Tombo ngantuk:

Wow! Orang Paling Gaul di Jalan Jaksa

Ini Tentang Perut dan Benda di Bawahnya

Menguak Rahasia Kompasianer Terfavorit 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline