Lihat ke Halaman Asli

Air Mata untuk Ndang Ndut

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12911981331290015398

Aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Perasaanku campur aduk: senang, haru, sedih, sebal…

Semua ini gara-gara peristiwa semalam. Melalui artikel “Ndang Ndut Itu Aku!”, semula aku hanya ingin mengabari para kompasianer bahwa aku punya akun ganda. Akun bayanganku itu bernama “Ndang Ndut”. Aku jelaskan alasanku, mengapa aku membikin akun tersebut dan apa pertimbanganku membuka sendiri rahasia ini.

Reaksi yang ditunjukkan para pembaca sungguh jauh di luar dugaanku. Dengan amat narsis kuberitahukan, sebagian besar penggemar Ndang Ndut tak rela riwayat Ndang Ndut di Kompasiana berakhir. Sebagian meminta dengan halus bahkan memelas, sampai-sampai air mata mereka bercucuran di lapakku. Sebagian yang lain mendesak dengan keras, bahkan ada yang main paksa dengan mengancam akan membakar lapakku!

Sungguh, reaksi yang ditunjukkan para pembaca itu sangat mempengaruhiku. Semalaman aku nggak bisa tidur gara-gara memikirkan nasib Badut dan Rukmini. Harus kuapakan mahluk-mahluk imajiner itu kelak? Haruskah aku bunuh dalam kondisi segar-bugar dan menggemaskan seperti sekarang? Haruskah aku kubur hidup-hidup ketika banyak orang masih merindukan mereka?

Sebagai penulis, aku adalah tuhan dengan T kecil. Aku menciptakan tokoh-tokoh, menyediakan ruang untuk hidup, berkreasi, bicara, merayu, juga kentut. Haruskah kuakhiri sejarah tokoh-tokoh itu?

Awalnya aku berencana tetap membiarkan mereka, Badut dan Rukmini, hidup. Hanya, mereka akan kuungsikan ke tempat lain. Ternyata rencana ini mendapat pertentangan keras.

Berdasarkan jajak pendapat tak resmi yang aku gelar, banyak rakyat Kompasiana yang menghendaki Ndang Ndut tetap berada di bawah naungan Blog Kesatuan Republik Kompasiana (BKRK). Mereka tidak rela Ndang Ndut memisahkan diri, apalagi mendirikan negara sendiri.

Secara umum, suara-suara publik Kompasiana itu juga menuntut agar aku diberi otonomi lebih luas untuk mengelola dua akun. Kata mereka, banyak kompasianer yang punya akun lebih dari satu, tetapi mereka tidak berani berterus-terang.

Dengan segenap kenarsisan yang aku punya, berikut ini aku tunjukkan cuplikan suara publik yang menyayangi Ndang Ndut dan tak rela riwayat Ndang Ndut aku pungkasi. Aku mohon maaf banget, dari 250 lebih suara publik, hanya 19 yang aku tampilkan.

12911984281278936665

12911984581309500471

1291198506296211565

1291198528540350009

12911985611984140670

1291198605643528397

12911986571884427842

1291198687114006092

1291198705751524768

12911987381178524132

1291198757635352295

12911987861661653378

1291198822211677960

12911988771713196189

12911988991786929887

12911989161221628943

1291198966254528224

12911989851680377356

Ingin sekali aku memperpanjang tulisan ini, namun entah kenapa, rasa-rasanya aku tak sanggup lagi. Aku akan ke kamar, mengambil sapu tangan, karena.....

Hasiiinggg....!!! Aku pilek pembaca. Semoga tidak menular.

Salam hangat dari Badut dan Rukmini untuk Anda!

Menteng, 1 Desember 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline