Lihat ke Halaman Asli

Pahlawanku Tanpa Tanda Tanya

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gedung AJBS, Surabaya, 28 Agustus 2005. Aku berdiri di panggung, dengan bibir tak henti-hentinya tersenyum. Beberapa fotografer mengambil gambarku: sesosok laki-laki ceking berkulit gelap, berkaos dan bercelana hitam, serta mengenakan sepatu kets kumal. Mungkin bukan perawakanku yang menyedot perhatian para fotografer itu. Bisa jadi yang mereka bidik adalah selembar kertas seukuran koran yang sedang aku pegang. Di selembar kertas itu tertulis: “Hadiah Rp 2.000.000. Juara I Lomba Reportase Jurnalistik Kategori Mahasiswa”.

[caption id="attachment_235568" align="alignright" width="226" caption="Pahlawanku, Dewi Alfiatin. (Foto: herman_hasyim)"][/caption]

Setelah menerima ucapan selamat dari panitia, para peserta dan teman-teman yang hadir di arena Kompas-Gramedia Fair itu, aku langsung menelpon seseorang.

“Alhamdulillah. Do’amu terkabul, Dik. Aku jadi juara satu. Mudah-mudahan ini jadi kado terindah ulang tahunmu,” kataku, lewat gagang HP.

“Wow! Selamat ya. I love You, Mas!”

Mendengar suara itu, mendadak ada sesuatu yang pelan-pelan merembes dari kelopak mataku. Aku masih ingat, perjuanganku untuk menjadi juara akan tinggal mimpi belaka bila tanpa bantuannya. Saat itu, sebagai mahasiswa semester sepuluh, aku adalah pemuda miskin dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Aku sudah tidak berani, sekaligus merasa sangat malu, meminta uang kepada orang tua di kampung. Di sisi lain, aku tidak punya penghasilan tetap. Pernah aku memberi les privat kepada beberapa siswa SD, namun hasilnya tak seberapa dan malah banyak waktuku yang tersita. Lalu aku putuskan jadi pekerja kreatif. Bersama dengan rekan-rekan sekomunitas, aku menyemangatkan diri menulis artikel dan mengirimnya ke beberapa koran yang terbit di Surabaya. Beberapa artikelku sempat berhasil menembus halaman opini, dan tentu saja aku berhak mendapat honor. Tapi toh itu tidak bisa diandalkan. Belum tentu sebulan sekali artikelku dimuat di koran.

Awal Agustus 2005, sebuah pengumuman terpampang di harian Kompas edisi Jawa Timur. Isinya mengenai lomba reportase jurnalistik dan fotografi untuk pelajar dan mahasiswa. Aku, yang hobi menulis dan sempat bergiat di pers kampus, tentu saja sumringah membaca pengumuman itu. Gairahku untuk berkompetisi melambung tinggi, apalagi hadiah yang ditawarkan sangat menggoda. Buat mahasiswa kere yang sudah tiga bulan belum membayar uang kos, iming-iming hadiah Rp 2 juta sungguh menggiurkan. Belum lagi imbas lain, seperti popularitas, puja-puji, dan semacamnya.

Gairah yang sedemikian memuncak ternyata tidak cukup. Waktu itu, dompetku kosong melompong. Benar-benar tiada menyisakan rupiah. Sudah seminggu aku mengisi perutku dengan cara mengeroyok masakan teman-teman. Mereka punya beras, ikan, sayur-mayur lalu memasak nasi dan lauk-pauk. Tiap kali mereka makan, aku ikut serta. Jadi, soal mengisi perut tiada masalah. Yang repot adalah soal mobilitas. Karena tak punya ongkos, aku tak bisa leluasa bepergian, termasuk untuk pergi ke Gedung AJBS, tempat digelarnya lomba. Dari kos ke tempat itu sejatinya hanya perlu sekali naik angkutan dengan tarif Rp 2 ribu. Aku cuma butuh Rp 20 ribu supaya bisa mengikuti lomba yang digelar selama sepekan itu.

Akhirnya lomba memasuki hari H. Aku terpenjara di kamar kos dan hanya meratapi kesialan ini. Begitu juga pada hari kedua, aku masih terpaku di kos-kosan. Peluangku mengikuti lomba kian menipis. Aku sedih bercampur marah. Ya, marah atas ketidakmampuanku menata garis hidupku sendiri.

Tentu aku tak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Beberapa teman kusambangi, sekedar ingin berhutang beberapa puluh ribu, tapi tak seorang pun yang bersedia. Bisa jadi mereka kapok menghutangiku, sebab aku hampir selalu telat membayar. Maka, pilihan terakhirku adalah dia. Ya, dia yang sudah seringkali membantuku secara moral dan finansial. Dia yang sedang kuliah di Semarang. Dia yang saat itu jadi pacarku.

Sebagaimana sebelum-sebelumnya, dia memenuhi rengekanku. Dan seperti yang sudah-sudah, dia tak ingin aku mengembalikan pemberiannya. Saat lomba memasuki hari ketiga, dengan meminjam rekening seorang teman, dalam hitungan detik, meluncurlah duit Rp 100 ribu dari Semarang ke Surabaya. Dengan modal itu, juga dengan bantuan seorang teman yang bersedia menemaniku selama lomba, aku memindahkan jiwa dan ragaku ke Gedung AJBS. Walau aku tertinggal dari rekan-rekan yang sudah mengikuti kompetisi sejak hari pertama, aku tidak pesimis. Apalagi setelah melihat karya-karya terbaik mereka yang di-display di ruang pameran. Aku yakin bisa melampauinya. Aku yakin sekali. Dan keyakinanku ternyata terbukti.

“Sampean minta hadiah apa, Dik?” aku melanjutkan pembicaraan di gagang HP.

“Oh, terserahlah. Tapi kalau nggak keberatan, aku pengen buku Harry Potter.”

***

Dewi Alfiatin. Itulah nama yang dipersembahkan ayah-ibunya kala lahir. Kami sama-sama lahir dan besar di daerah Tuban. Namun kami bukan tetangga dekat. Kami berbeda kampung dan kecamatan. Butuh satu jam untuk bepergian dari rumahku ke rumahnya. Aku kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya sedangkan dia kuliah di Akademi Ilmu Statistik Muhammadiyah (AIS-M) Semarang.

Aku mulai mengenalnya pada Juli 2003, lalu berkorespondensi, dan setahun kemudian kami sepakat untuk pacaran. Hubungan kami terus berlanjut hingga akhirnya kami menikah pada 10 Oktober 2007.

Dewi Alfiatin adalah pahlawanku. Dia memang bukan satu-satunya orang yang berjasa dalam hidupku. Tapi dia telah memberikan yang terbaik yang dimilikinya kepadaku, lebih dari orang lain. Dia hadir dalam hari-hariku ketika aku terpuruk, nyaris kalah oleh perasaan putus asa, lalu menyuntikkan energi positif sehingga aku mampu bangkit dan menjadi aku yang sekarang.

Setelah lulus dari IAIN Surabaya, Maret 2006, aku tak langsung mendapat pekerjaan. Hampir enam bulan aku jadi pengangguran. Pada masa menganggur itulah ujian yang sesungguhnya kuhadapi.

“Aku tahu sampean sangat selektif mencari pekerjaan. Tapi sampai kapan terus menunggu?” ujar Dewi, suatu hari. Dia menasehatiku agar tidak malas mencoba mengirim lamaran kerja. Dia tahu betul, penyakit akutku adalah suka bermalas-malasan.

Kemudian dia mencoba menggali masalah-masalah apa yang sedang menyelubungiku. Dia pun menawarkan jalan keluar.

“Aku tahu, tanpa sepeda motor, mobilitasmu pasti sangat terbatas. Kalau memang sampean sangat membutuhkannya, aku rela tabunganku sampean pakai dulu. Sampean pakai untuk uang muka. Soal bulanannya, nanti insya Allah kalau sudah kerja kan ada,” tuturnya.

Demikianlah, dengan tabungannya, aku membeli sepeda motor secara kredit. Dengan kendaraan itu, harapanku ialah segera mendapat pekerjaan. Saat itu, pekerjaan yang paling kuminati adalah wartawan. Salah satu syarat untuk melamar profesi wartawan adalah memiliki kendaraan sendiri. Itu hampir pasti.

Juni 2006, sebuah harian terbesar di Jawa Timur membuka lowongan untuk calon wartawan. Aku menyodorkan lamaran. Sepekan kemudian aku dipanggil untuk tes tulis dan wawancara. Aku adalah satu-satunya alumnus IAIN Surabaya yang diberi kesempatan itu. Walau jarak kampus kami dengan kantor redaksi harian tersebut hanya sepelemparan batu, hubungan kampus kami dengannya memang renggang. Jarang sekali ada alumni kampus kami yang diterima kerja di tempat itu.

Sempat menikmati kebanggaan sesaat, belakangan aku gigit jari. Aku gagal lolos. Entah karena apa. Bisa jadi karena sedari awal aku kurang percaya diri. Atau bisa juga karena persiapanku yang kurang serius.

“Sudahlah, Mas. Nggak usah disesali. Kan baru pertama ini gagal mencari kerja. Ya, anggaplah ini pelajaran berharga. Aku yakin sampean tetap bisa menjadi wartawan,” Dewi kembali menjadi motivator ulung.

Beberapa bulan setelah itu, aku mendapatkan panggilan wawancara lagi. Kali ini datangnya dari sebuah media online di Jakarta. Aku melamar sebagai calon reporter untuk edisi Bahasa Indonesia. Jelas, aku tak ingin kesempatan ini terbuang percuma. Namun masalahnya, lagi-lagi aku terkendala persoalan dana. Dan lagi-lagi Dewi Alfiatin menjelma menjadi Dewi Penolong.

Proses wawancara berhasil dengan mulus. Aku diterima bekerja di media yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan itu. September 2006, aku mulai bekerja. Di media ini, aku bertahan sekitar 20 bulan. Juni 2008, aku resmi keluar, karena sudah tidak sreg dengan kebijakan manajemen. Sempat dilanda stres berbulan-bulan lantaran tidak juga mendapatkan pekerjaan baru, Dewi Alfiatin hadir lagi sebagai penyuplai semangat.

“Jangan kapok, Mas. Ayolah, sampean pasti bisa. Seperti katamu dulu, kebahagiaan adalah rangkaian kesusahan dan kesenangan. Bangkitlah, Mas,” dia menggugahku.

Beberapa bulan kemudian aku mendapatkan tempat kerja baru. Aku menumpang hidup di sebuah lembaga negara. Ditempatkan di bagian dokumentasi dan informasi, sehari-hari aku menggawangi website bersama rekan-rekan yang ahli di bidang Teknologi Informasi. Tugasku adalah menulis berita serta mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan lembaga kami. Aku menjalani pekerjaan itu hingga kini.

“Betul kan, Mas. Sampean lebih hebat dari yang sampean bayangkan,” istriku, Dewi Alfiatin, berusaha membesarkan hatiku.

***

Salah satu yang membuatku jatuh cinta kepada Dewi Alfiatin ialah karena dia gemar membaca dan menulis. Dia sangat-sangat terobsesi ingin menjadi NH Dini atau JK Rowling. Dia terus belajar menulis walau hasilnya belum bisa dipetik. Dia belajar secara mandiri, walau pernah juga bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP). Selain gemar membaca dan menulis, sama sepertiku, dia juga ingin sekali suatu hari mendirikan perpustakaan yang disediakan untuk anak-anak kampung.

Karena kami sama-sama doyan aksara, dan karena Surabaya-Semarang berjarak ratusan kilometer, saat berpacaran kami suka bertukar surat. Bukannya waktu itu fasilitas e-mail dan SMS belum ada. Kami sengaja memakai surat untuk mengasah kemampuan menulis, sekaligus menikmati saat-saat mendebarkan kala menunggu surat jawaban.

Pacaran lewat surat itu ternyata berdampak sangat luar biasa buatku. Kami tak pernah berkirim surat hanya satu-dua lembar. Hampir selalu, kami menghabiskan lebih dari tiga lembar kertas untuk menumpahkan isi hati dan pikiran.

Karena ingin memukau pujaan hati di seberang sana, aku tak pernah main-main dalam merangkai kata. Benar kata WS Rendra, siapapun akan jadi penyair apabila sedang jatuh cinta atau patah hati. Begitupun aku. Banyak kata-kata puitis Kahlil Gibran yang kupungut. Namun aku tak suka gaya bahasa yang melulu mendayu-dayu. Aku ingin suratku lebih kaya nuansa. Karena itu aku selalu berburu kosakata dan gaya bahasa baru tiap kali hendak mengirim surat. Aku mendapatkannya dari beragam buku, majalah, dan koran. Demi menyusun surat cinta, aku rajin ke perpustakaan untuk menjumpai karya-karya Emha Ainun Najib, Muhidin M Dahlan, bahkan Dedy Corbuzier. Ya, aku pernah mengadaptasi tulisan mentalis ini di sebuah majalah mengenai angka-angka aiaib. Tidak hanya itu, aku juga membuka-buka buku psikologi agar goresan tanganku dapat menyentuh hati pacarku, Dewi Alfiatin.

“Sampean punya bakat untuk jadi penulis hebat, Mas,” tuturnya dalam sebuah surat.

Kata-kata itu aku kenang hingga sekarang. Tiap kali jatuh dalam kemalasan, atau tersungkur dalam ketidakberdayaan, aku ingat kata-kata itu. Dari kata-kata itulah karya-karyaku lahir.

Kata-kata lainnya yang takkan hengkang dari kepalaku ialah, “Cinta itu perhatian”. Baginya, bagi pahlawanku itu, cinta bukan bualan lidah. Juga bukan belaian rambut. Dengan filosofi itulah dia mencintaiku selama ini. Perhatian berarti kepedulian. Dan orang yang peduli pastilah suka memberi yang terbaik yang dimilikinya.

Hingga Agustus 2010, atau tujuh tahun sejak aku mengenalnya, Dewi Alfiatin selalu memberikan yang terbaik untukku. Tatkala aku butuh teman diskusi untuk memperbincangkan mimpi-mimpi di masa depan, dia menyodorkan pemikiran. Ketika kondisi finansialku sedang sial, dia membantuku dengan rupiah. Dan saat kondisi psikologisku luluh lantak, dia hadir sebagai penggugah semangat.

“From Zero to Hero”. Kata-kata itu pernah kupatri sebagai motto hidupku. Ah, nyatanya sejauh ini aku masih sangat tidak layak diembel-embeli predikat pahlawan. Aku baru beranjak dari titik nol. Justru Dewi Alfiatin, istriku tercinta, yang telah mengukuhkan dirinya sebagai pahlawan.

She is my inspired women. Ya, dialah wanita inspirasiku. Tanpanya, aku tetap menjadi bukan siapa-siapa. Aku mengatakan ini dengan sepenuh hati. Tanpa keraguan. Sebab, Dewi Alfiatin adalah pahlawan yang sesungguhnya. Bagiku, dia pahlawan tanpa tanda tanya.

Menteng, 22 Agustus 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline