Subuh paskah 5 April 2021 adalah salah satu waktu saya berdoa paling khusuk dalam hidup. Betapa tidak dalam umur saya yang JELITA alias menjelang lima puluh tahun, baru pertama kali dalam hidup mengalami badai yang begitu mencekam. Sekira jam dua lewat gemuruh angin begitu mencekam memaksa saya coba bangun dan membuka pintu. Namun begitu saya memutar gagang pintu saya justeru terhempas ke belakang bersama daun pintu. Saya kembali dan rebah di tempat tidur sambil berdoa memelas, "Tuhan, cukup....!" Doa yang sama saya ulang berkali-kali setiap kali kembali rebahan setelah berusaha membuka pintu dan terdorong bersama daun pintu ke belakang hingga tiga atau empat kali. Angin mulai redah sekitar pukul empat atau lima pagi.
Hari paskah, hari kemenangan Tuhan Yesus atas maut. Hari paskah 2021 adalah hari paling mencekam dalam hidup. Gemuruh genteng yang runtuh terasa seperti batu kubur Yesus yang tergeser memberi jalan kepada Tuhan yang bangkit. Istri saya, mirip Maria Magdelena yang sangat mencintai Yesus, memaksa saya untuk berangkat ke gereja Penfui untuk perayaan Ekaristi sekitar jam tujuh pagi. Sayangnya kami berdua tak bisa tiba di Gereja seperti Maria Magdelana dan teman-temannya karena jalanan bergelimang pohon tumbang dan kabel listrik bergelayutan. Alih-alih kembali mencari bantuan, saya justeru gunakan kesempatan itu untuk melihat dengan mata kepala manifestasi kerusakan yang ditimbulkan oleh gemuruh yang membuatku tak berdaya di hadapan alam. Ternyata angin yang begitu lembut, kalau lagi mengamok, mampu mencabut pohon berdiameter lebih dari satu meter semudah saya mencabut rumput di halaman rumah.
Tergerak rasa ingin tahu, lantaran pengalaman pertama seumur hidup itu, saya mulai berkeliling kota untuk menyaksikan dan memahami pola kerusakan yang terjadi. Saya melihat sekitar tempat saya Penfui, Pasir Panjang, Liliba dan Tarus. Lineasi rebahan pohon dan posisi kerusakan kubah masjid Pasir Panjang mengindikasikan kalau arah angin dominan menuju ke tenggara. Kekuatannya biarlah para ahli yang menentukan. Saya lebih tertarik melihat bangunan-bangunan yang yang rusak oleh Badai yang diberi nama Badai Siklon Seroja itu.
Pengamatan saya menunjukkan bahwa bangunan yang rusak paling parah adalah bangunan tinggi. Kedua bangunan yang dibangun secara darurat, ketiga bangunan yang langsung terbuka ke pantai tanpa lindungan entah pohon, tebing atau apalah. Keempat bangunan yang beratap seng dan berangka baja ringan. Keempat tipe kerusakan ini yang dominan saya jumpai.
Pertama, bangunan tinggi terlihat sangat kasat mata mengalami kerusakan atap. Saya menyaksikan Gereja Galed di Pasir Panjang bersama kubah Masjid yang berdekatan. Menuju ke Bimoku, Kampus Politeknik yang tujuh lantai pun dihancurkan secara mengenaskan. Ada juga bangunan sekolah di TDM atapnya rusak. Sementara tipe kerusakan kedua adalah bangunan yang terpapar langsung tanpa hambatan ke laut. Jenis ini seperti Milenium Ball Room dan Subasuka di Pasir Panjang atau Pengisian BBM Oeba dan Pasir Panjang.Contoh lain adalah SMU Tunas Bangsa Liliba.
Tipe kerusakan ketiga adalah bangunan-bangunan darurat yang dibangun untuk jualan sepanjang jalan Timor Raya dan tempat-tempat lain di kota Kupang. Jenis ini mirip juga dengan banyak bangunan yang dibangun beratap seng dan berangka bajah ringan. Bahkan saya melihat seng yang tergulung seperti tikar sementara bajah ringan terlipat-lipat. Entah karena kualitas material atau desain sekali lagi biarlah diurus para ahlinya.
Rumah adalah satu dari tiga kebutuhan pokok klasik: sandang, pangan dan papan. Walau sekarang ditambah lagi katanya, paketan dan casan alias akses internet. Makanan dan pakaian, plus kedua kebutuhan dasar di atas, dapat diperoleh dengan relatif lebih gampang karena biaya yang relatif terjangkau. Tapi untuk memiliki tempat berteduh sangatlah berat dan dambaan setiap keluarga. Karena itu sebaiknya, saya belajar dari pengalaman badai pertama kali seumur hidup ini.
Rumah kebun saya di Sulamu terletak sekitar 50 meter dari pantai, tetapi relatif tidak terganggu walau pohon asam berumur lebih dari lima puluh tahun tumbang mengenaskan. Ternyata pohon-pohon kusambi yang sering dipakai dalam pengasapan daging sei (daging paling enak di NTT), yang tumbuh padat seputar rumah, melindungi rumah dari hempasan angin. Maka saya belajar untuk menanam pohon seputar rumah sebagai pemecah angin alias wind breaker. Karena ternyata rumah yang tak terlindungi seperti bangunan tinggi dan terbuka langsung ke laut banyak yang hancur.
Rumah saya di Penfui Timur memang rontok genteng, tetapi hanya bagian yang terpapar langsung pada terjangan angin. Saya belajar kalau atap yang berat tidak mudah ditiup angin. Ini kontras dengan rumah-rumah yang diatapi seng apa lagi yang menggunakan konstruksi rangka bajah ringan yang saya jumpai rusak. Maka mungkin baik ke depan pemerintah, dalam memberikan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah, mempertimbangkan jenis konstruksi yang tahan badai.
Kata para ahli kalau badai semacam ini akan semakin kerap, sehingga kita perlu berpikir mitigasi bencana alam badai tropis di Pulau Timor. Kitapun sepakat kalau pengalaman adalah guru yang terbaik dan sejarah adalah pijakan dalam menata masa depan. Pengalaman sekali setelah hampir lima puluh tahun menyambut fajar semencekam apapun patut saya jadikan pelajaran. Badai Siklon Seroja yang menghantar kebangkitan Kristus di tahun 2021 adalah sejarah yang akan dijadikan pijakan masa depan jika kita menganggapnya penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H