Ulang tahun PWI baru saja berlalu. Tanggal 9 Februari, ada juga yang menyebutnya Hari Pers Nasional, walau banyak juga yang protes karena pers sudah lahir sejak jaman Belanda. Dengan umur yang relatif panjang kita berharap peran pers sungguh menjadi pengawal demokrasi dan tatakelola pemerintahan yang handal.
Sayangnya, fakta empiris menunjukkan bahwa banyak pemerintah daerah mengkooptasi media dengan apa yang disebut sebagai kontrak kerjasama pemberitaan. Kontrak ini menghancurkan independensi media massa lokal dalam menyajikan berita yang profesional dan objektif.
Untuk menyokong tatakelola pemerintahan yang akuntabel dibutuhkan setidaknya parlemen, dalam hal ini DPD, DPR(D) yang kuat, masyarakat sipil yang kritis dan media atau pers yang independen.
Di level nasional banyak pendiri partai adalah juga penguasa bisnis media baik itu radio, televisi, media cetak maupun media online. Jamak juga disajikan bagaimana media-media tersebut menjadi corong pemiliknya.
Bahkan pernah ada sindiran bahwa saluran televisi tertentu memang beda; sehingga kalau hujan diberitakan di media lain,maka ada yang nyeletuk: 'coba cek di media anu, jangan-jangan malah panas!' Hasilnya jelas, independensi pemberitaan media yang dikuasai menjadi tergerus.
Tentu penguasa daerah jarang punya kemewahan untuk memiliki media yang berskala nasional yang mengamankan kepentingan mereka. Tetapi para penguasa lokal ini tak kalah lihai dengan mereka yang di pusat. Mereka memanfaatkan anggaran daerah untuk memastikan media lokal memihak mereka dalam pemberitaan. Sementara untuk media lokal, kerja sama pemberitaan adalah bentuk pemasukan yang sangat menggiurkan di tengah sepihnya iklan di daerah yang memang tak punya sektor swasta yang kuat dalam periklanan.
Hal ini sudah disinyalir Direktur Eksekutif Indonesia Media Law & Police Centre (IMLPC), Christiana Chelsia Chan, seperti yang diberitakan dalam portal Dewan Pers. Jika kontrak kerjasama itu hanya sebatas periklanan atau advertorial tidaklah masalah. Tetapi kalau kerjasama itu sampai menyangkut isi pemberitaan atau malahan siapa yang menjadi koresponden media di daerah tersebut maka dapat dipastikan peran pers yang independen menjadi komoditi yang sangat langka.
Misalnya, Radar NTT Oktober 28, 2017 memberitakan bahwa dalam sesi diskusi dengan pemerintah NTT terungkap masukan dari awak media bahwa, "......, media massa juga membutuhkan dukungan pembiayaan dari pemerintah yang dituangkan secara transparan dalam nilai kontrak kerjasama, untuk mendukung produktifitas dan profesionalitas kerja jurnalistik."
Mereka yang kritis akan mempertanyakan kejelasan bagaimana dukungan pembiayaan dari pemerintah mampu meningkatkan produktivitas dan profesionalitas jurnalistik. Produktivitas mungkin bisa terbantu karena mereka tidak perlu pikir hal lain selain membuat pemberitaan karena sudah dibiayai. Tetapi bagaimana menjaga profesionalisme jurnalistik kalau sang jurnalis harus menelanjangi pihak yang memberi makan media yang menghidupi sang jurnalis?
Ada pemilik media lokal yang menghubungi penulis kalau dia memegang banyak data kejahatan yang dilakukan pemerintah daerah tertentu. Dia mau memberikan kepada saya agar dilaporkan ke pihak berwajib karena tidak lagi dilibatkan dalam peliputan. Tetapi karena kemudian dia dirangkul lagi, akhirnya dokumen itu hanya sekadar isapan jempol.
Ada lagi wartawan atau koresponden lokal yang curhat bahwa berita yang dikirimnya tak dimuat sama redaksi medianya, pada hal secara konten sangatlah perlu. Rangkaian kisah kooptasi semacam ini dapat kita saksikan di banyak daerah. Banyak kontrak kerja sama yang berbau korupsi bahkan untuk menutup bau tak sedap korupsi itu sendiri.