Lihat ke Halaman Asli

Herman Wijaya

Pedagang tempe di Pasar Depok

Lockdown, Social Distancing, dan Penggunaan Data

Diperbarui: 19 Maret 2020   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seiring merebaknya virus corona (Covid-19) akhir-akhir ini, "Lockdown" dan "Social Distancing" menjadi kata yang terkenal di masyarakat. Meskipun tidak sepenuhnya kata itu dipahami artinya oleh segenap lapisan masyarakat. Apalagi golongan masyarakat yang suka menulis kata service menjadi serpis, fried chicken menjadi pret ciken, capcay menjadi capjae  dan lain sebagainya.

Pemerintah sendiri seperti ogah-ogahan menggunakan kata yang mudah dipahami oleh segenap lapisan masyarakat. Apa yang datang dari luar ditelan mentah-mentah.

Tulisan ini bukan mau membahas kesalahan penggunaan bahasa asing di tengah masyarakat kita. Penulis hanya ingin melihat cara pemerintah dalam membuat kebijakan.

Dalam kasus epidemi Covid-19 contohnya. Lockdown (menutup suatu area),  tidak mengijinkan masyarakat beraktivitas di luar rumah merupakan tindakan yang diambil oleh beberapa negara maju dan negara yang lebih maju dari Indonesia.

Yang pertama di Cina, kemudian beberapa negara Eropa dan belakangan Malaysia juga menerapkan kebijakan serupa, meskipun di Malaysia tidak seberapa efektif, karena sebagian rakyatnya menggunakan momentum lockdown untuk berlibur. Begitu bunyi berita yang sampai ke Indonesia.

Di Indonesia, desakan agar pemerintah melakukan lockdown terus menguat. Namun yang menolak juga tak kalah gigih. Bagi yang mendorong, lockdown dianggap sebagai upaya ampuh untuk mencegah penyebaran virus corona. Bagi yang menolak alasannya lebih ke ekonomi: bagaimana dengan masyarakat kecil yang hanya bisa menyambung hidup hanya bila mendapatkan penghasilan hari itu? Karena tidak semua anggota masyarakat bisa berdiam di rumah untuk mendapatkan penghasilan.

Hal lain yang ditawarkan untuk mencegah penyebaran virus corona adalah Social Distancing adalah mengurangi kegiatan di luar rumah, menghindari tempat-tempat berkumpul, atau pun bila terpaksa berada di luar rumah, agar menjaga jarak minimal 1,5 meter dengan orang lain.

Sejauh ini, dorongan lockdown belum mendapat respon dari pemerintah pusat.

Imbauan social Distancing belum berjalan efektif di tengah masyarakat. Apakah masyarakat tidak takut dengan ancaman corona? Pendapat masyarakat macam-macam. Ada yang pasrah karena merasa takdir manusia sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa, ada yang tidak bisa menghindar dari situasi menakutkan ini, banyak pula yang tidak paham.

Pemerintah sendiri -- baik pusat maupun daerah -- baru sampai pada tahap mengimbau, melakukan sosialisasi dan mengambil tindakan bila ada kasus. Kalau pun ada langkah yang cepat, masih ngaco, seperti pengurangan jumlah armada, rute dan frekwensi perjalanan transportasi publik di Jakarta. Apalagi kalau tindakan itu hanya dilakukan untuk memberi efek kejut kepada masyarakat, sungguh tidak bisa diterima.

Baik pemerintah pusat maupun daerah, sebelum mengambil keputusan yang berpengaruh bagi aktivitas sosial maupun kehidupan masyarakat, hendaknya menggunakan data yang tepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline