Lihat ke Halaman Asli

Transformasi Subjektivitas Tradisional Menuju Modern

Diperbarui: 16 Juli 2022   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya Apa yang membedakan pemikiran modern dengan pemikiran zaman sebelumnya yang disebut dengan zaman tradisional?

Pemikiran abad pertengahan ditandai oleh kesatuan, keutuhan, dan totalitas yang Koheren dan sistematis yang tampil dalam bentuk metafisika atau ontologi. Hal ini berarti bahwa pemikiran abad pertengahan, kenyataan dilukiskan sebagai tatanan sistematis yang hierarkial; mulai dari kenyataan tertinggi sampai dengan terendah, atau dari yang Abstrak sampai yang paling kongkrit. Filsafat Thomas Aquinas menjadi puncak dari pemikiran abad Pertengahan ini. Dapatkah kita katakan bahwa pemikiran modern dapat dipahami sebagai suatu pemberontakan terhadap alam pikir abad pertengahan?.

Sejarah filsafat modern lalu bisa dilukiskan sebagai pemberontakan Intelektual secara terus menerus terhadap metafisika tradisional. Dari pemberontakan ini, cara berpikir filosofis yang mendasarkan diri pada rasio menjadi lebih otonom dari pemikiran atas dasar iman yang kekal sebagai teologi. Pemisahan filsafat dari teologi berlanjut pada abad ke 18 dan 19 dan menjadi pemisah ilmu pengetahuan dari filsafat.

Pemberontakan Intelektual itu bisa dilihat dari dua sudut yang berbeda. Di satu sisi kita menganggap modernitas sebagai disintegrasi intelektual. Filsafat modern, dalam wawasan ini, adalah sebuah kemerosotan intelektual. Mereka ingin mempertahankan metafisika tradisional berada pada posisi ini. Disisi lain, kita bisa menganggap filsafat modern sebagai sebuah emansipasi, sebuah kemajuan berpikir dari kemandegan dan pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung sistem kekuasaan gerejawi tradisional. Mereka yang berada pada posisi yang kedua ini akan mendukung radikalisasi lebih lanjut, pemisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Kita bisa memihak salah satu posisi secara ekstrem. Dalam kenyataan, hancurnya metafisika tradisional disambut gembira oleh filsuf filsuf seperti Nietzsche, Kant, Comte, dst; di lain pihak, Hegel dan Marx ingin mengembalikan integrasi metafisis itu dari puing puingnya. 

Seperti juga dalam pemberontakan sosial politis, filsafat modern ditandai oleh maksud yang tegas untuk menggulingkan otoritas maupun titik tolak intelektual yang dianggap kuno. Pertama, dalam filsafat abad pertengahan ada dua sumber otoritatif yang menjadi acuan, yaitu filsafat Aristoteles yang diterima melalui para cendikiawan muslim dan Yahudi dan kitab suci. Kedua, sumber tradisi ini terus menerus dipersoalkan dalam filsafat modern sehingga kita bisa mengatakan bahwa filsafat modern adalah "krisis tradisi yang diperhebat oleh rasio". Subjektivitas, kritik dan kemajuan tidak mengijinkan rasio untuk ditawan oleh masa silam dari sumber sumber tradisi. Hanya dengan melepaskan diri dari Kungkungan tradisi, filsafat modern mau menghasilkan pemikiran secara kualitatif baru. Sebagai gantinya, sekarang rasio menduduki tahta otoritatif yang sudah digulingkan itu.

Sebagai usaha melepaskan diri dari tradisi, filsafat modern meluncurkan tema tema baru. Sejak renaisans, sudah muncul pengetahuan baru yang sekarang kita kenal sebagai "ilmu pengetahuan modern", yakni ilmu alam. Para perintisnya, seperti Galileo, Sir Francis Bacon dan Descartes, yang sangat menekankan "metode" untuk mengetahui. Filsafat tradisional ramai mempersoalkan kenyataan adikodrati, entah yang disebut Allah, Roh dst, sedangkan para filsuf modern sibuk mempersoalkan cara untuk menemukan dasar pengetahuan yang sahih tentang semua itu. Dengan peralihan minat ini, lambat laun minat refleksi akan Allah bergeser ke refleksi atas manusia dengan segala kemampuan kodratinya. Dengan kata lain, Teosentrisme bergeser ke Antroposentrisme, seperti rasio, persepsi afeksi dan kehendaknya menjadi tema refleksi baru.

Sejauh kita menerima pengandaian bahwa sebagai bentuk pengetahuan, filsafat berkaitan timbal balik dengan praktik praktik sosial politis, kita juga bisa mengatakan bahwa pemberontakan intelektual merupakan upaya untuk menggapai praktis secara kritis. Di awal zaman modern, rumusan cogito Ergo Sum dari Descartes tidak kebetulan bersesuaian dengan interprestasi subjektif atas iman dari Luther. Orang mulai percaya bahwa pengetahuan dicapai oleh dirinya sendiri dan iman ditafsirkan sendiri. Yang dilawan disini bukan hanya ajaran ajaran resmi tentang pengetahuan yang benar, melainkan juga praktik praktik totaliter gereja abad pertengahan yang dilegitimasikan oleh ajaran ajaran itu. Di abad ke 18, John Locke dan Adam Smith sibuk merumuskan hak hak milik, yang menandai praktik praktik ekonomis kapitalis zaman itu. Praktik praktik yang sama mendapatkan serangan gencar dari Marx yang memperlihatkan hak milik sebagai biangkeladinya penindasan dalam masyarakat.

Sumber: Catatan Kuliah/ F. Budi Hadirman 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline