Lihat ke Halaman Asli

Urgensi Muamalah dalam Kehidupan Manusia dan Hukum Jual-Beli Online dalam Pandangan Islam

Diperbarui: 22 Maret 2021   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Muamalah berakar dari kata ‘aamala yang berarti saling berbuat atau memperlakukan. Secara etimologi mualamah sama dan semakna dengan al-mufa’alah yang menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan manusia atau manusia dengan kelompok dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Maka, dapat disimpulkan bahwa arti muamalah adalah hubungan antar manusia dalam usaha untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya dengan cara yang baik sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama. Hal-hal yang melingkupi muamalah adalah pinjam-meminjam, jual-beli, sewa-menyewa, dsb.

Muamalah sendiri secara terminologi dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit. Secara arti luas, muamalah dapat diartikan sebagai aturan atau hukum Allah untuk mengatur manusia dalam hal pergaulan sosial pada urusan duniawinya. Secara arti sempitnya, muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya dengan cara dan aturan yang sudah ditentukan oleh Allah. Dari kedua definisi tersebut dapat diartikan secara sederhana bahwasannya muamalah adalah hubungan antar manusia dengan manusia untuk saling membantu agar tercipta masyarakat yang harmonis.

Berdasarkan ruang lingkupnya muamalah dibagi menjadi muamalah berdasarkan aspeknya dan muamalah berdasarkan tujuannya.

  • Muamalah Berdasarkan Aspeknya
  • Berdasarkan aspeknya muamalah dibagi menjadi 2 yaitu muamalah adabiyah dan muamalah madiyah.
  • Muamalah Adabiyah
  • merupakan muamalah yang berkaitan dengan bagaimana cara tukar menukar benda ditinjau dari segi subjeknya yaitu manusia. Juga, mengatur tentang batasan-batasan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh manusia terhadap benda yang berkaitan dengan benda dan akhlak. Contohnya, kejujuran, kesopanan, saling meridhai, dsb.
  • Muamalah Madiyah
  • merupakan muamalah yang berkaitan dengan objeknya yaitu bendanya. Juga, menetapkan aturan secara syara’ terkait dengan bendanya. Contohnya, jual-beli, pergadaian, sewa-menyewa, dsb.
  • Muamalah Berdasarkan Tujuan.
  • Berdasarkan tujuannya muamalah dibagi menjadi 7 yaitu:
  • Hukum Keluarga, berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang memiliki tujuan untuk membangun dan memelihara sebuah keluarga.
  • Hukum Perdata, berkaitan dengan hukum yang mengatur hubungan individu-individu dalam bermuamalah serta bentuk-bentuk hubungannya.
  • Hukum Pidana, berkaitan dengan segala bentuk kejahatan, pelanggaran hukum dan ketentuan sanksi-sanksi hukumnya.
  • Hukum Acara, berkaitan dengan sumpah persaksian, tata cara mempertahankan hak dan memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai dengan hukum yang berlaku.
  • Hukum Perundang-Undangan, berkaitan dengan perundang-undangan yang berlaku untuk membatasi hubungan hakim dan terdakwa atau yang terhukum serta menetapkan hak-hak perorangan dan kelompok.
  • Hukum Kenegaraan, berkaitan dengan hubungan antara penguasa pemerintah dengan kelompok masyarakat dalam suatu negara maupun antar negara.
  • Hukum Keuangan dan Ekonomi, berkaitan dengan dari fakir miskin didalam harta orang kaya, serta mengatur sumber keuangan dalam suatu negara.

Tujuan dari muamalah adalah untuk menciptakan suatu hubungan yang baik dan harmonis antar sesama manusia sehingga terciptanya masyarakat yang rukum dan tentram. Karena sifat dari muamalah itu sendiri yaitu saling tolong-menolong. Urgensi muamalah berkaitan erat dengan hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan antara manusia dengan Allah atau Tuhannya. Hubungan ini bersifat pribadi. Contoh hubungan antar manusia dengan manusia adalah dengan akhlak yang baik seperti, saling tolong-menolong, kerja sama, toleransi antar umat beragama, dsb. Contoh hubungan antara manusia dengan Allah atau Tuhannya adalah dengan takwa seperti, melakukan perintahnya dan menjauhi apa yang dilarangnya.

Dalam islam, keluarga yang sehat adalah keluarga yang memiliki komitmen muamalah. Dimana komitmen ini seperti selalu berinteraksi dengan baik dengan antar anggota keluarga dan para tetangga sekitar, membuat batasan dengan orang yang bukan mahramnya, dan selalu berhubungan baik dengan sanak saudaranya.

Lalu, bagaimana hukum jual-beli online dalam padangan Islam?

Jual-beli merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam islam. Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, cara berjualan tidak hanya dengan bertatap muka antara penjual dan pembelinya seperti yang sering kita lakukan ketika berbelanja ke pasar atau supermarket. Namun, belakangan ini jual-beli juga dilakukan secara online. Hukum dasar muamalah adalah al-ibahah atau mubah yang artinya diperbolehkan. Maka dari itu, dasar hukum jual-beli online sama dengan jual-beli akad selama tidak ada udzur atau dalil yang melarangnya. Jual-beli online juga dapat dikatakan sah apabila sebelum melakukan transaksi antara pembeli dan penjual sudah melihat barang yang diperjualbelikan dan telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya. Serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual-beli menurut islam.

Dikatakan sebelumnya bahwa jual-beli online dikatakan sah apabila sebelum melakukan transaksi antara pembeli dan penjual sudah melihat barang yang diperjualbelikan dan telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya ini dalam padangan madzhab syafi’i merupakan syarat dari bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan dalam jual beli karena Rasulullah melarang perbuatan tersebut (penipuan) sebagaimana yang dikatakan dalam hadist yang artinya “Rasulullah saw melarang jual-beli yang didalamnya terdapat penipuan.” (HR.Muslim)

Jual-beli juga dikatakan sah apabila memenuhi syarat dan rukun jual-beli menurut islam. Rukun jual-beli yang dimaksud antara lain adalah, (1) adanya penjual dan pembeli, (2) adanya akad atau shigat resmi antara penjual dan pembeli berupa ijab dan qabul, (3) ada barang yang akan dibeli, dan (4) ada nilai tukar pengganti barang. Kemudian, syarat jual-beli yang dimaksud antara lain adalah, (1) barang yang diperjualbelikan harus suci, (2) kedua pihak yang berakad harus baligh, berakal, dan lebih dari satu orang, (3) barang yang diperjualbelikan harus bermanfaat, berwujud, dan hak milik, serta (4) adanya barang yang diserahkan pada waktu akad.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa jual-beli online itu dasar hukumnya sama dengan jual-beli akad. Artinya, diperbolehkan asalkan tidak ada udzur atau dalil yang melarangnya serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline