Novel Multatuli pertama kali diterbitkan pada tahun 1860 sebagai bentuk perlawanan nya terhadap budaya korupsi para pejabat-pejabat pribumi. Kekejaman kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia serta tipu muslihat yang dilakukan oleh para pejabat-pejabat pribumi semakin membuat kehidupan rakyat Indonesia semakin menderita. Hal ini lah yang menginspirasi Max Havelaar untuk membuat sebuah karya yang begitu fenomenal. Multatuli adalah novel yang terselimuti oleh fakta. Meskipun berkebangsaan Belanda, itu bukan menjadi penghalang baginya untuk mempublikasikan karya ini. Havelaar atau dengan nama samaran nya yaitu multatuli adalah seorang wakil residen yang ditugaskan di Indonesia,tepatnya di Lebak. Keberaniannya untuk mengecam kebobrokan para pejabat-pejabat pada masa itu khusushnya pada kebijakan tanam paksa dan pembuatan jalan POS.
Novel yang begitu fenomenal, tuan Droogtoppel yang bisnisnya sudah sangat maju dan memiliki banyak cabang, dengan kekayaannya ini tuan duks topel memiliki kekuasaan hingga suatu ketika ada seorang teman lama yang datang kepadanya dan meminta tolong untuk menerbitkan naskah-naskah miliknya. Pada awalnya tuan duks menolak dan merasa jika menerbitkan naskah hanya akan membuang banyak waktunya saja. Seiring bertambahnya waktu ia mulai tertarik dengan askah milik temannya tersebut hingga pada akhirnya ia bersedia untuk menerbitkannya. Max Haveler menuangkan pemikirannya melalui karya dan ini semua tertuang dalam setiap bab yang ada di dalam novel multatuli. Meskipun ia berkebangsaan Belanda ia memiliki pemikiran bahwa yang dilakukan oleh bangsa nya terhadap Indonesia merupakan suatu kesalahan. Meskipun berkebangsaan Belanda, Max Havelaar ini lebih condong ke Indonesia dalam arti ia sering menolong masyarakat sekitar.
Novel ini menitik beratkan betapa budaya korupsi dikalangan pejabat-pejabat pribudi sudah mengakar, seperti yang kita tahu bahwa Belanda memang kejam, tapi yang belum banyak orang tau ialah betapa kejamnya para pejabat pribumi yang begitu tega untuk menyengsarakan kehidupan sesama pribumi.
Novel Sejarah, dari penulisannya dilihat menggunakan beberapa sudut pandang yaitu, Droogtoppel atau makelar kopi dan si penulis yaitu multatuli itu sendiri. Sudut pandang pertama yaitu pada sudut pandang Multatuli itu sendiri. Dimana banyak menggunakan kata "aku" misalnya pada bab pertama dimana menceritakan novel dari sudut pandang Multatuli. Penggunaan kata "aku" yang seakan-akan serba tahu. kekurangan buku ini ialah dalam gaya kebahasaan dimana buku terdapat banyak penggunaan bahasa Indoneia yang belum sesuai dengan kaidah kebahasaan di masa sekarang.Selain itu saya merasa karana buku ini merupaan novel terjemahan untuk pembaca atau pembaca awam pasti mengalami kesulitan untuk memahami arti dan juga makna yang terkandung di dalam novel ini.
Seperti yang sudah saya sebutkan tadi bahwa ada beberapa kebijakan dari kolonialiesme Belanda yang banyak di sorot pada novel ini, seperti kebijakan tanam paksa dan pembuatan jalan POS. Pada kebijakan tanam paksa dijelaskan bahwa pemerintah kolonialiesme Belanda pada saat itu memaksa rakyat Lebak untuk menanam kopi di kebun mereka. Padahal yang kita semua ketahui Lebak bukan lah daerah yang cocok untuk ditanami kopi, tetapi pemerintah kolonialiesme Belanda tentap bersikeras akan kebijakan tersebut yang kemudian membuat rakyat Lebak menjadi menderita. Pada kebijakan tanam paksa, masyarakat Lebak hanya diizinkan untuk menanam tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan tanam paksa juga memunculkan perlawanan dari pribumi, masyarakat merasa tidak diuntungkan oleh kebijakan ini. Karena semakin banyak perlawanan rakyat pribumi pada saat itu maka mau tidak mau pemerintah kolonialisme terpaksa harus menyudahi kebijakan tanam paksa.
Selanjutnya pada kebijakan pembuatan jalan POS, sebagai seorang pembaca saya memahami bahwa novel ini menguak fakta yang sedikit menyayat hati. Seperti yang kita semua ketahui pada kebijakan pembuatan jalan POS Belanda melakukan kerja paksa kepada para pribumi dimana pribumi bekerja keras tanpa mendapatkan upah, Ketika anda membaca novel ini secara keseluruhan pandangan anda akan berubah. Ada sedikit fakta yang diungkapkan oleh Multatuli. Pada awal paragraf saya menjelaskan bahwa budaya korupsi pada pejabat-pejabat pribumi sudah mengakar dan ternyata pernyataan mengenai para pribumi yang dipaksa untuk bekerja tanpa diberikan upah hanyalah suatu kebohongan belaka dari para pejabat-pejabat pribumi itu sendiri. Multuli mengungkapkan bahwa para pemerintah kolonial Belanda ternyata membayar upah para pekerja dengan upah selayaknya. Lalu mengapa timbul pernyataan yang mengatakan bahwa para pekerja pribumi dipaksa untuk bekerja tanpa upah? Spekulasi ini muncul karena para pekerja pribumi memang tidak pernah menerima upah mereka. Lalu kemana upah para pribumi? Tentu saja upah para pekerja pribumi di koripsi oleh para pejabat pribumi itu sendiri. Sungguh miris rasanya, karena ulah mereka para pekerja pribumi banyak yang mengalami kelaparan, kurang gizi hingga akhirnya meninggal.
Penggambaran tokoh Multatuli pada novel ini memiliki watak yang tegas dan memiliki rasa iba terhadap pribumi. Hal itu tercermin ketika ia menjadi seorang pemimpin, dimana ia menjadi pemimpin yang adil serta mementingkan orang lain. Pengambilan sudut pandang yang berbeda-beda ini membuat novel ini menjadi lebih menarik, selain novel ini berisikan fakta. Permainan akan alur serta penempatan konflik pada setiap bab juga menjadi ciri tersendiri.
- Droogtoppel seoang makalar kopi dan pebisnis, memiliki kepribadian yang religious. Ia merasa kedatangan Belanda ke Indonesia merupakan takdir dari Tuhan Menurut tuan duks topel kedatangan Belanda di Indonesia bertujuan untuk memperbaiki keadaan Indonesia pada saat itu untuk memperbaiki kedaan Indonesia pada saat itu dimana kemiskinan terjadi dimana-mana.
- Max Haveller atau Multatuli merupakan seorang pejabat berkebangsaan Belanda yang sudah bekerja selama 17 tahun, memiliki watak yang berani.
Novel ini merupakan sebuah masterpiece karna memiliki peran penting untuk menyadarkan orang-orang Eropa pada saat itu. Karya dari Multatuli ini begitu meledak di pasar Eropa sampai-sampai mendapat kecaman dari beberapa pihak. Novel ini dianggap sebagai ancaman bagi kolonialisme bangsa Belanda. Kritikan tajam yang begitu berpengaruh pada kebijakan yang berlaku sehingga karena novel ini pula pemerintah kolonial Belanda meninjau kembali kebijakannya. Seakan menjadi titik awal bagi bangsa pribumi, pemerintah kolonial Belanda merasa iba dan akhirnya diberlakukan lah kebijakan baru yang Bernama politik etis atau politik balas budi.