Lihat ke Halaman Asli

Herlina SA

Suka kopi, buku, dan puisi.

Mengikhlaskan

Diperbarui: 7 Juni 2024   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, Nazana berlari dalam hujan dengan tergesa, sambil terisak.

Sampai di depan pintu rumah Damar, tangisnya makin kencang. Tangannya mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Ia membuka jilbabnya, lalu dibantingnya ke lantai.

"Dam.. buka pintunya, biarkan aku berbicara" Teriak Nazana memanggil-manhgil kekasihnya. Tangisnya tak juga berhenti.

Nazana berada cukup lama di depan pintu. Tubuhnya mulai bergetar karena kedinginan. Beberapa kali ia mengepalkan tangannya di dada. Lalu ditiup-tiupkan udara dari mulutnya ke celah telapak tangan yang gigil itu.

"Damar..." ujar Nazana sekal lagi. Teriakannya melemah.

Namun tetap tak ada jawaban dari balik pintu itu. Hanya terdengar suara hujan yang jatuh makin deras.

Nazana tak putus asa. Ia sama sekali tak bergeming. Tubuhnya tetap di sana. Berharap Damar iba dan membukakan pintu untuknya.

Satu jam telah berlalu. Tiba-tiba suara pintu terbuka, menjatuhkan tubuh Nazan yang sedang bersandar.

Nazana terkejut. Ia berusaha bangkit dari jatuhnya. Meraih kaki laki-laki di hadapannya.

"bangunlah" Kata laki-laki itu samar.

Tangannya meraih tubuh Nazana. Membantunya berdiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline