Gunung Prahu adalah sebuah gunung yang terdapat di Dataran Tinggi Dieng tepat di perbatasan Kabupaten Kendal dengan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Gunung ini merupakan salah satu puncak di Dataran Tinggi Dieng selain Gunung Sipandu, Gunung Pangamun-amun, dan Gunung Juranggrawah. Ketinggiannya mencapai 2.565 meter di atas paras laut.
Pertengahan September 2014. Awal musim kemarau yang membakar. Sepanas bara pertarungan bakal calon Presiden. Matahari melenggang terang dalam jubah kebesarannya. Teriknya menyerang hingga ke pelosok pedesaan terpinggir. Tanpa kecuali Desa Patak Banteng di kaki Gunung Prau. Angin pegunungan yang kencang memeluk mesra hawa dingin, seolah-olah berkonspirasi menantang sang penjaga siang. Walhasil, meskipun sang surya garang membakar, namun hawa dingin khas pegunungan Dieng tak mau takluk. Rombongan kami pun enggan melepas jaket tebal ala penduduk Eskimo saat tiba di basecamp, Desa Patak Banteng, Wonosobo. Dingin menyayat-nyayat kulit! Apalagi saat menyentuh air tuk basuh badan yang bak ikan asin setelah seharian naik Elf dari Jakarta, alamak, sedingin es! Ternyata suhu di desa ini menembus kisaran 17° C.
Ketua rombongan sengaja memilih base camp ini sebagai titik mula. Jalur pendakian via Desa Patak Banteng merupakan jalur tersingkat untuk sampai ke puncak Gunung Prau, dibanding lewat jalur Dieng Plateau. Tapi jalur ini lebih curam dan konon lebih minim pemandangan. Singgah ke basecamp hanya sekedar bersih-bersih badan dan isi perut, sekaligus bertemu porter yang menyewakan perlengkapan camping seperti tenda, sleeping bag dan jasa angkut barang. Tentunya semua sudah termasuk paket pembayaran Rp. 850.000,- ke panitia.
Dengan ransel berisi perbekalan seadanya, sandal gunung, dan topi ala pengelana Mongol, selepas ashar, rombongan backpacker yang terdiri atas 17 orang ini perlahan meninggalkan basecamp. Mas Joni Iskandar dengan 2 porter lainnya menggiring kami menuju puncak Gunung Prau. Perlengkapan camping dan bawaan berat lainnya dengan sukses teriring seringai kuda kami pasrahkan ketiga porter gagah perkasa kami. Hanya para cowok yang sudah mahir panjat-panjat tebing, utamanya Mas Erik, cowok terganteng di rombongan yang mirip Takeshi Kaneshiro. Nah, khusus cewek, rata-rata pemula. Eit, tapi kata ketua panitia, gak usah njiper apalagi histeris, jalur pendakian meskipun curam namun relatif aman! Pokoknya dengar kata pemandu, pasti selamat deh sampai puncak.
Wajah mojang-mojang cantik ini langsung berbinar. Apalagi didampingi backpacker ganteng yang kok ya kebetulan suka menolong, charming, gaul dan asyik mendokumentasikan perjalanan dengan video. Wuih, langsung pada semangat 45.
Berjalan melalui gang-gang perkampungan penduduk yang sudah dibeton, ujian pertama sudah menunggu. Berharap nyali pendaki melorot ke titik nadir. Dengah tertatih, kami wajib mendaki barisan jajaran anak tangga yang menanjak dengan tingkat kecuraman membentuk sudut 80°. Wow, ngos-ngosan dan sangat menguras tenaga, apalagi kemunculannya di awal-awal trekking, seperti kemasukan gol cepat dimenit-menit awal. Untung ada Mas Erik yang tak kenal lelah pompa semangat para cewek Gen Y.
Berbekal pengalaman mendaki Gunung Merapi dan Lawu kala masih dibangku kuliah dulu ternyata sedikit membantu. Meskipun seringkali berhenti melepas lelah, atur nafas yang memburu dan pijit-pijit kaki yang kram, perjalanan dapat kutempuh tepat 3 jam, gak kalah dengan para generasi Y yang ikut rombongan. Hampir tak ada jalur yang rata. Semua track mendaki, semakin ke atas semakin tajam kecuramannya. Di awal pendakian, jalur masih sedikit landai berhiaskan hijaunya sawah ladang penduduk. Sebagian ladang ditanami Edamame, yang tumbuh subur meskipun musim kemarau panjang. Setelah diperhatikan, nampaknya saluran irigasi lewat pipa-pipa buatan sepertinya membantu. Trekking landai hanya bertahan hingga kami mencapai posko 1 Sikut Dewo.
Melanjutkan perjalanan ke posko 2 Canggal Walangan, jalur pendakian semakin menanjak. Dari ketinggian, rumah-rumah penduduk semakin mengecil. Beruntung, hamparan landscape perbukitan Dieng menyajikan keindahan yang menghibur. Barisan pagar alam nan menawan nampak menghijau meskipun dihantam musim kemarau panjang. Bunga-bunga liar aneka warna nampak menari-nari bersama angin. Sesekali terlihat kupu-kupu mencari serbuk sari, membantu alam melakukan regenerasi saat mereka mencari makanan. Sungguh, jalinan ekosistem alam yang terstruktur rapi. Semakin ke atas, sawah ladang penduduk semakin menghilang digantikan pepohonan pinus di kanan kiri jalur pendakian. Cabang-cabang pohon yang masih kecil seringkali dijadikan pegangan untuk jalur yang tajam menanjak. Pada tanah liat merah yang mengering, nampak bekas-bekas jejak sandal pendaki lain yang telah mendahului. Sesekali pada tanah yang tak terlalu padat, debu berterbangan bebas saat langkah-langkah pendaki berlalu, hingga kami sesekali menutup wajah untuk menghindari debu hingga tiba di posko 2.
Perjalanan ke puncak sebagai posko terakhir semakin tajam. Lereng terjal di sepanjang jalur mengundang adrenalin. Ada titik di mana kami harus berpegangan pada temali yang telah terentang di medan yang tercuram. Salah langkah sedikit, sudah pasti tubuh akan terjun bebas menghantam lembah. Justeru di tengah tantangan ini, kami disuguhi drama indah kala matahari perlahan menghilang dalam dekapan malam. Warna senja melukis langit keemasan. Sesaat aku terdiam. Tersadar berada di urutan buncit. Tapi sungguh a blessing in disguise!
Sesungguhnya, aku suka keheningan dan kesunyian kala itu. Ada damai singgah di jiwa. Tak ada kemunafikan, Tak ada kedengkian, Tak ada keculasan.Yang ada, hanya kebisuan semesta. Keindahan alam tanpa banding. Awas tipis mulai menyerbu kaki gunung. Di bawah kilauan cahaya keemasan, aku serasa berdiri di negeri di atas awan. It's totally majestic. Aku menyerah tulus, dalam ke gaiban-NYA.
Lepas maghrib pun, aku berhasil menyusul rombongan sampai di puncak. Alamak, hamparan tenda telah tertebar di berbagai sudut. Karena bertepatan dengan festival Dieng, maka puncak Prau dipenuhi lautan tenda. Nampak Mas Joni dkk dengan cekatan membongkar perlengkapan tenda dan menyusunnya di lapak yang tersisa hingga menjadi 5 tenda mungil aneka warna. Untung kami tiba sebelum Isya. Kata pemandu, semakin malam makin banyak pendaki berdatangan. Satu tenda berisi 3 s.d 4 orang.
Usai bongkar ransel dan gelar sleeping bag, aku dan 3 roomate tenda bergegas keluar. Mata belum ngantuk. Dingin masih menempel. Jantung serasa berhenti berdetak saat wajah terbasuh hamparan langit bertabur ribuan bintang yang cantik sekali. Tanpa terhalang polusi cahaya atau awan. Bulan sabit pias bersaing dengan gemerlap permata yang berkerlap-kerlip manja. Gugusan galaxy jutaan kilo jaraknya. Kosmos semesta yang sempurna! Terbentang di atas langit. Alangkah kecil manusia. Alangkah sombong jikalau berjalan dengan penuh kecongkakan. Kembali Aku terpesona akan ke Maha Kayaan-NYA, dan aku hening didalam ke-khusukan-ku. Menyimak semesta bertasbih.
Para pendaki sibuk memotret gugusan bintang atau milky way dengan kamera pocket atau tripod. Langit di atas Gunung Prau memang terbukti sangat indah. Dimulai dari taburan bintang (milky way), hingga hamparan awan altocumulus yang menyelimuti pandangan para pendaki. Tak kalah dengan pesona aurora borealis!
Malam semakin merayap. Hawa dingin semakin meresap. Kulit terajam hawa es. Jaket tebal, syal dan topi gagal menghalaunya. Namun, pendaki makin ramai berdatangan. Kebanyakan para ABG dengan logat Jawa kental. Dentingan dawai gitar mulai terdengar. Riuh canda pendaki memecah sunyi.
Kami pun memutuskan balik ke tenda. Enggan, tapi hawa dingin membunuh nyali kami. Berempat meringkuk saling berhimpitan. Darn! Dingin merajam hingga ke sumsum. Gemeretak gigi kami saling berkejaran. Tak satupun yang terlelap. Suara di luar tenda semakin gaduh. Tersiksa dalam sekam es. Terganggu polusi suara. Menunggu pagi yang tak kunjung datang. Suhu mencapai 7°C. Keluar tenda sama saja mencari mati. Ah, dingin yang menyiksa.
Tak berani meneguk air. Tiada toilet. Hanya semak belukar yang meranggas. Terkepung lautan manusia. Terpasung dingin, menahan kencing. Berharap pagi cepat menyapa.Penantian usai. Wajah pucat pasi kami mulai menyemburat merah. Tak sabar, kami keluar tenda.
Subhanallah....pemandangan spektakuler di depan mata. Si kembar Sindoro-Sumbing dan Merapi-Merbabu seakan menyapa kami. Beruntung mendapatkan cuaca yang cerah tanpa kabut di pagi ini. Matahari perlahan keluar dari peraduan. Golden sunrise! Semesta bermandikan cahaya emas. Satu jam lebih saya menikmati dan mengabadikan pemandangan di camp area gunung Prau.
Kala Matahari semakin merayap ke atas, seketika pemandangan indah lain tersibak. Puncak pegunungan prau di hiasi bunga liar seperti bunga daysi atau ceplikan ( Jawa ) dengan gundukan gundukan tanah menyerupai deretan bukit kecil yang tersebar dari ujung utara hingga selatan dan lebih di kenal sebagai Bukit Teletubbies Dieng ( Taman Seribu bukit ). Nampak di kejauhan kilauan Telaga Warna, keperakan saat dikecup matahari pagi.
Sayang, ribuan manusia berjubel dan berlomba mengabadikan keindahan Prau. Hampir tak satupun spot bebas manusia. Sampah-sampah pun mulai terlihat terserak. Penyakit manusia. Egois. Terbiasa untuk menerima dan mengambil, take everything for granted. Lupa untuk memberi, to give back. Lupa tuk menjaga alam yang telah memberi tanpa harap balas budi.
Ingin suatu saat kembali. Menikmati sepetak surga di Prau. Memilih moment saat tak terlalu banyak pendaki. Memuaskan dahaga ilahiah. Bermalam kembali di negeri di atas awan.
Bagaimana ke Prau.
Apabila tak mau repot bisa pakai jasa EO. Cukup bayar dan semua sudah beres diatur. Atau bagi wisatawan yang mau mencoba wisata adventure seperti pendakian ke gunung prau bisa menggunakan jasa pemandu (diki cp 085327062082) khusus atau para porter yang akan membantu membawa perbekalan wisatawan. Apabila mai go show, paling nyaman naik Kereta Serayu. Hanya butuh 10 jam sampai stasiun Puwokerto dengan kereta serayu menghabiskan waktu sekitar 10 jam. Dari stasiun, naik angkot ke terminal Rp5000 per orang, jarak tempuh juga tidak terlalu jauh. Selanjutnya, naik bus jurusan Wonosobo dengan tarif RP35.000/orang dengan waktu 4 jam.
Best Timing
Weekend apalagi pas Dieng Cultural Festival, puncak Prau akan diserbu ribuan pendaki. Privasi akan terganggu namun dapat sekaligus menyaksikan kiran rambut gimbal dan berbagai pentas seni lainnya yang diselenggarakan hanya sekali setahun. Macet ala Jakarta sudah pasti mengancam. Apabila ingin leluasa bermasyuk dengan Prau, hindarilah hari-hari tersebut. Ambil cuti lebih mantap.
Tips
Suhu dieng terkadang sangat ekstrem. Super duper dingin. Jadi persiapkan segalanya, mulai kaos kaki, topi hangat, syal dan jas tebal. Ingat tak boleh menyalakan api unggun! Dilarang mencoret-coret pohon, apalagi mengukirnya! Dan bawa turun sampahmu!
So, selamat mencoba dan rasakan ke-spektakuler-an pesonal Gunung Prau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H