Lihat ke Halaman Asli

Herlina Syarifudin

Tulisanku disini gado-gado ya gaeeessss...tergantung mood mo nulis topiknya apa :)

Sesendok Tanya

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

oleh Respati Elang Pawestri

"Mak, nyapo sampeyan koyok ngene nang aku? Yen aku ra mbok pengeni lair, opo’o ra biyen-biyen aku mbok pateni mak. Tinimbang sampeyan akhire ra nggedhekne aku. Mesakke simbah. Saben dino nunggoki aku nang rumah sakit. Lah, sampeyan dhewe nandi mak? Mulai ceprot aku lair sampe gerang ngene, ra tau aku ngrasakke banyu susumu mak. Yen ditakoni wong-wong, mosok yo aku ngomong anake simbah? Tapi simbah dhewe ra pengen aku ketemu sampeyan mak. Simbah dhewe wis loro ati marang sampeyan mak."

Menurut cerita simbah, kelahiranku itu jadi bahan taruhan paman dan kakek dari pihak emak. Mereka ingin anak pertama harus laki-laki. Jika bukan laki-laki, mereka tidak mau mengakui sebagai ponakan ataupun cucu.

"Kok yo becik tenan nyowoku dipadhake dadu. Murah tenan aku iki yo? Luwih murah soko regane gedhang sak curung."

Tapi kalau bapakku sendiri orangnya pasrah. Laki perempuan, sama saja yang penting selamat dan sehat. Apa ini berpengaruh dengan yang namanya marga atau farm? Kutemukan surat kelahiranku yang ternyata fotocopian juga. NEU. Hanya itukah namaku? Hanya 3 huruf saja? Betapa pelitnya orangtuaku memberi nama. Yang jelas kutahu, sejak lahir aku sudah diasuh sama simbah. Waktu usia 5 bulan aku sempat dirawat di rumah sakit karena sakit panas tinggi. Tangan dan kakiku diikat disamping tempat tidur. Karena kalau tidak diikat, jari-jari tanganku bakal berdarah karena aku gigit-gigit terus. Tiap malam yang menjagaku cuma simbah. Emakku jarang datang. Mungkin memang benar, karena kalah taruhan, jadi aku dianggap ‘tiada’ oleh mereka. Lantas, kemana bapakku? Ternyata bapakku sudah pergi bersama wanita lain. Beruntung aku masih punya simbah dari bapak. Aku sadar, karena sakit hati simbahku kepada emak, akupun jadi ikutan benci sama emak. Kalau sudah seperti ini siapa yang berdosa dan siapa yang durhaka? Aku sendiri tak ingin temukan jawabnya. Berkali pula kucoba tanamkan rasa sayang pada emakku, tapi selalu saja ada tolakan dalam batinku. Aku tidak tahu, hati dan otakku sudah diracuni apa sama simbah, sampai aku tak mau mengakui kalau dia adalah emakku.

Prinsip simbah "Wong tuwomu kae yo sing nggedhekno kowe, nyekolahno, ngewei mangan kowe. Nglairno iku gampang. Wong nggawene penak kok. Akeh ibu ra nggenah nang ndunyo iki. Procot kerono kebobolan trus isin karo tonggo, dibuak. Suk, nggawe neh."

Pernah suatu kali aku ingin main ke emak yang rumahnya cuma saling berpunggungan tembok dengan rumah simbah, tapi simbah melarang.

Simbah bilang, "nyaopo awakmu dolan rono, sing ono paling yo ora direken."

Bahkan pernah terucap kalimat dari bibir emakku, "Aku gak duwe anak koyok kon yo gak pathe'en." Kalimat itu terucap belasan tahun silam, dan masih melekat dalam benak hingga kini.

Hingga aku beranjak SMA dan ayah meninggal, entah berapa tahun kemudian aku mendengar kabar emakku nikah lagi dan punya 3 anak. Aku masih tinggal bersama nenek dan bulikku.

Pernah disaat aku mudik dan bertandang ke rumah emak, dengan mudahnya emak bilang,"Emak ga mbok pikir gak popo. Tapi pikiren adik-adikmu iki lho."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline