DI EMPERAN TOKO OBAT
Oleh : Herlambang Kusumawardana
Pagi cerah. Seperti biasa aku datang ke kantor selalu lebih awal dari karyawan lainnya, untuk mengerjakan setiap tugas dan tanggung jawabku sebagai office boy. Membersihkan seluruh ruangan kantor dan menyiapkan seluruh kebutuhan yang diperlukan setiap hari. Aku hanya seorang diri bekerja sebagai office boy. Walau kompensasi atau imbalan yang aku terima tidak sesuai dengan pekerjaan yang seabrek aku terima.
Meski undang-undang tenaga kerja telah direvisi beberapa kali untuk mengatur kesejahteraan karyawan, tetap saja belum memberikan dampak yang nyata bagi karyawan sendiri. Apa mau dikata semua pekerjaan harus aku lakukan, yang penting halal. Sebab sekarang ini mencari pekerjaan sangatlah susah, persaingan semakin ketat. Apalagi aku hanya lulusan SMA, masih untung aku mendapatkan pekerjaan ini daripada harus mengganggur, karena orang tua tidak mampu lagi untuk membiayai kuliah, sebab adik-adikku juga harus sekolah. Aku harus bersyukur atas apa yang aku dapatkan dan nikmati sekarang ini.
Selesai mengerjakan tugas, aku biasa duduk di pantri yang kebetulan berada dekat ruangan satpam. Jam dinding di ruangan menunjukkan pukul 07.00 WIB. Di kantor hanya ada aku dan satpam. Biasanya direktur dan karyawan lainnya datang agak nanti, karena jam kerja dimulai pukul 08.00 WIB. Aku pun santai di ruangan sambil membereskan kotoran yang masih tercecer. Kebetulan pantri menghadap ke jalan raya, jadi aku dengan leluasa dapat melihat lalu lalang orang atau kendaraan. Kantorku berada berderet dengan toko-toko yang berdiri di pinggir Jalan Mayor Syafrie Rahman, yang merupakan jalan utama di kotaku.
Di emperan toko obat samping kantor yang jaraknya kurang lebih lima meter, dua buah bola mata menembus kaca pantri hingga ke dalam dada. Seketika hatiku teraduk-aduk. Apalagi ketika senyuman itu mengembang, sungguh menawan hati. Tak pernah aku bayangkan, pagi yang sungguh mengencangkan otot-otot diseluruh tubuh dan mengalirkan aliran darah di dalam nadi begitu cepat. Pagi yang membuat jantung semakin berdetak kencang. Aku terpesona tatapan mata dan senyuman itu.
Aku mencubit tangan untuk membuktikan bahwa apa yang telah aku lihat bukan sedang bermimpi.
"Aduh!" teriakku karena terlalu keras mencubit.
"Ini nyata!"
"Ada apa, rul?" tanya satpam kantor yang berlarian ingin mengetahui kejadian yang sedang menimpaku.
"Tidak ada apa-apa kok pak, cuma kesenggol air panas dari gelas," jawabku malu menyembunyikan kebenaran dari kekonyolan tingkah yang baru saja aku lakukan. Karena apabila aku mengatakan sebenarnya yang terjadi, tentu satpam itu akan meledek dan membuat malu diriku sendiri.