Lihat ke Halaman Asli

Deddy Herlambang

Cogito ergo sum

Penghargaan Transportasi Tidak Perlu Tapi Perlunya Kenyataan

Diperbarui: 1 Maret 2021   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Secara umum Provinsi DKI Jakarta kerap memperoleh penghargaan-penghargaan, khusus bidang transportasi pernah memperoleh penghargaan di sektor transportasi seperti Sustainable Transportasi Awards (STA) 2021 oleh ITDP atas Pengembangan Program Integrasi Antarmoda Transportasi Publik. Perolehan STAJangan Terjebak Gelar Penghargaan Transportasi Tapi Perlunya Kenyataan award ini diberikan untuk organisasi Pemprov DKI Jakarta. Sedangkan, baru saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperoleh gelar /penghargaan sebagai pahlawan transportasi, bersama 21 tokoh pahlawan lain oleh Transformative Urban Mobility Initiative (TUMI).

TUMI sebagai lembaga nir-laba dari Jerman, baru berdiri 3 tahun yang lalu (2017) yang merupakan under bow dari GIZ. Sekira apakah feasible sebuah lembaga baru namun memberikan penilaian secara internasional tanpa benchmarking keberhasilan atau tanpa survey kepuasan pengguna transportasi lain di seluruh dunia. TUMI telah saya email dengan 3 alamat tujuan yang berbeda, sayangnya hingga kini selama opini ini ditulis ( 1 minggu)  belum mendapat balasan. Dalam email saya menanyakan kriteria pemilihan pahlawan transportasi. Sekali lagi amat kita sayangkan balasan terima kasihpun belum ada hingga kini. Semoga TUMI tidak bermain-main memberikan gelar-gelar pahlawan kepada tokoh-tokoh itu.

Saya samaikan juga kepada TUMI bahwa tradisi gelar kepahlawanan di Republik Indonesia, umumnya  personalnya telah meninggal dunia. Yang memberi gelarpun pahlawan juga dari negara bukan dari LSM/NGO. Namun, yang masih hidupun gelar kepahlawanan publik juga dapat disematkan apabila ada orang yang telah berjuang demi kebenaran berperang melawan kekuasaan absolut atau melawan keburukan sistem di lapangan. Seperti kita lihat sampai sekarang di Jakartapun perjuangan dari seseorang sosok publik tidak ada atau perjuangan untuk transportasi tidak ada yang melawan, artinya damai-damai saja di Jakarta.  

Kita punya kapasitas menanyakan kepada TUMI mengenai gelar pahlawan transportasi tersebut, mengapa dapat dinilai dalam keberhasilan transportasi. Kriteria dengan mengecat jalur sepeda “sementara” sepanjang 63 km hanya digunakan untuk olah raga dan joyride bila liburan, apakah seperti ini berhasil. Masih ujicoba bus listrik, belum dapat dikatakan sebagai keberhasilan. Integrasi pembayaran dengan Jaklingko, juga belum mendapat modal share ke angkutan umum yang signifikan, karena masih dibawah 20% pengguna angkutan umum. TOD dan revitalisasi stasiun juga belum terjadi, sama sekali bukan ukuran keberhasilan.

Apakah tolok ukur TUMI hanya sampai merencanakan dan membangun saja tanpa dilihat implementasinya juga. Das sollen, publik hanya perlu sarana dan prasarana enjinering transportasi yang ramah, nyaman, aman, berkeselamatan dan biaya terjangkau tanpa harus perlu embel-embel penghargaan. Apabila tersedia sarana dan prasarana transportasi namun masyarakat masih enggan menggunakan tidak tidak dapat dinilai berhasil, karena parameter kepuasan pengguna transportasi menjadi ukurannya. Filosopi keberhasilan transportasi sangatlah mudah karena dapat diukur berapa banyak yang gunakan dan tangible ( dilihat dan dirasakan ).

Ukuran ini misalnya seberapa banyak pengguna kendaraan pribadi mau pindah ke angkutan umum masal? Atau berapa banyak pindah menggunakan non-motorist transport / NMT ( jalan kaki dan sepeda ) di trotoar dan jalur sepeda. Semua perpindahan ke angkutan umum dan menggunakan NMT  dapat dihitung dan dikontrol. Demikian juga secara tangible dapat dilihat dan dirasakan apakah jalan, trotoar, jalur sepeda dan integrasi sudah sesuai standar pelayanan atau belum. Jadi keberhasilan transportasi tidak hanya sekedar membangun saja tapi harus  diuji implementasinya ke masyarakat. 

Belum lagi kita bicara target Sustainable Development Goals (SDGs) / Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB ) sebagai pekerjan rumah (PR) bangsa Indonesia. SDGs merupakan kesepakatan bersama di PBB adalah suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.

Khusus transportasi kita bisa melihat target, “point 11.2 by 2030, provide access to safe, affordable, accessible and sustainable transport systems for all, improving road safety, notably by expanding public transport, with special attention to the needs of those in vulnerable situations, women, children, persons with disabilities and older persons.”  

Sistem basis transportasi kita masih tidak sinkron terhadap peruntukannya, masih banyak trotoar belum ramah terhadap penggunanya termasuk fasilitas disabilitas sendiri masih minim di kota-kota besar Indonesia. Masih banyak pejalan kaki di trotoar (di jalurnya sendiri) yang tewas ditabrak oleh pengendara mobil/sepeda motor. Di trotoar masih banyak yang dilalui kendaraan, untuk dagang atau area parkir, sesungguhnya menurunkan level of service jalan umum itu sendiri. Di Jalan Sudirman dan Thamrin Jakarta fasilitas jalan nya lengkap dan cukup nyaman, namun bila kita menoleh ke kawasan Tanah Abang yang hanya berjarak 1 km dari Thamrin sangatlah kontras. Di kawasan Tanahabang seperti kawasan tanpa kontrol dalam penataan transportasinya.

Maka sejatinya pemberian-pemberian gelar transportasi tidak berarti sebelum pekerjaan rumah kita secara nyata belum terselesaikan dengan baik dan benar. Gelar STA award pun masih perlu kita pertanyakan lagi, mengingat no sustainable bagi perencanaan sebelumnya. Jalan Sudirman-Thamrin akan diberlakukan ERP sejak 2013, namun kini pelarangan sepeda motor dicabut dan kini malah mau dibangun jalur sepeda di Sudirman-Thamrin. Apakah nanti sepeda motor dan sepeda akan dikenakan tarif ERP ?

Tidak ada gunanya sering bermimpi banyak penghargaan (“mabuk gelar”) dan seremonial apabila PR transportasi masih banyak, SDGs belum banyak disentuh, pola integrasi masih belum terbentuk, minim modal share ke angkutan umum, TOD masih sebatas wacana dan no sustainable.  Apalagi bila pemberi gelar tersebut dari lembaga yang masih belum dikenal publik, sebaliknya malah lembaga tersebut ingin dikenal dengan memberikan penghargaan-penghargaan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline