Lihat ke Halaman Asli

Kontrasepsi untuk Pelajar, Jalan Pintas atau Jalan Buntu

Diperbarui: 6 Agustus 2024   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrai AI Dokpri

Sebagai seorang guru sekaligus penulis, saya merasa perlu menyampaikan pandangan kritis terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan. Kebijakan ini, menurut saya, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka.

Kurikulum Merdeka dan Pendidikan Holistik

Kurikulum Merdeka hadir sebagai angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan fokus pada pengembangan karakter, keterampilan abad ke-21, dan pembelajaran yang berpusat pada siswa, kurikulum ini menjanjikan lahirnya generasi emas yang mampu menghadapi tantangan masa depan. Namun, kebijakan penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar seolah bertentangan dengan cita-cita luhur tersebut. Apakah kita rela jika generasi muda kita tumbuh menjadi individu yang hanya mengejar kepuasan sesaat tanpa memperhatikan nilai-nilai moral dan etika?

Pendidikan Seksual yang Komprehensif

Daripada menyediakan alat kontrasepsi, lebih baik fokus pada pendidikan seksual yang komprehensif. Pendidikan ini harus mencakup informasi tentang kesehatan reproduksi, konsekuensi dari perilaku seksual, dan pentingnya menunda aktivitas seksual hingga usia yang lebih matang. Dengan demikian, pelajar dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab, sesuai dengan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka yang mendorong kemandirian dan pemikiran kritis.

Peran Guru dalam Kurikulum Merdeka

Dalam Kurikulum Merdeka, guru memiliki peran penting sebagai fasilitator yang membimbing pelajar untuk menemukan dan mengembangkan potensi mereka. Penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dapat mengurangi peran ini, karena seolah-olah tanggung jawab pendidikan seksual sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Padahal, pendidikan yang efektif harus melibatkan semua pihak, termasuk keluarga dan sekolah, dalam membimbing pelajar.

Risiko Penyalahgunaan dan Dampak Jangka Panjang

Ada risiko bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dapat disalahgunakan. Tanpa pemahaman yang benar, pelajar mungkin merasa bebas untuk melakukan aktivitas seksual tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan kehamilan di usia muda, yang justru bertentangan dengan tujuan Kurikulum Merdeka untuk menciptakan generasi yang sehat dan berdaya.

Pendapat Tokoh

Wido Supraha Ketua DPP PUI (Persatuan Umat Islam) Bidang Pendidikan, mengatakan,"Tolak PP No. 28 Tahun 2024 Pasal 103 ayat 4 yang mengatur pemberian kondom bagi siswa sekolah. Pemberian ini sejatinya mengikuti cara Barat dengan konsep CSE (Comprehensive Sex Education)-nya yang bertentangan dengan Pancasila. Dengan PP ini, Negara permisif dengan hubungan seksual di antara anak sekolah selama suka sama suka (tidak ada paksaan) dan selama tercegah dari HIV. Akankah tercapai Indonesia Emas 2045 jika sejak 2024 sudah diajarkan permisifisme atas seks bebas? Terlebih, ide 'konselor sebaya' untuk memberikan konseling akan menjadi persoalan besar lainnya, di penghujung masa kerja Presiden Joko Widodo. Saatnya Umat berpadu menjaga NKRI dari pemikiran transnasional Barat yang destruktif bagi tatanan kehidupan bangsa dan negara di masa depan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline