Lihat ke Halaman Asli

RCEP di ASEAN dan Transformasi Perdagangan

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Akhir bulan lalu, menteri-menteri yang menangani persoalan perekonomian di masing-masing negara anggota Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) melakukan pertemuan 45th ASEAN Economic Ministers & External Partners di Brunei Darussalam.

Pertemuan tahunan ini diikuti beberapa negara mitra ASEAN, di antaranya Australia, China, India, Jepang, Korea, dan Selandia Baru. Di antara banyaknya agenda yang harus diselesaikan, salah satu agenda yang mengemuka dalam pertemuan tersebut adalah negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP) di antara negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, dengan enam mitra dagangnya yang tersebut di atas. Negosiasi tersebut telah dimulai awal tahun ini dan diharapkan selesai pada 2015 nanti.

RCEP adalah upaya negara-negara ASEAN untuk mengharmonisasikan berbagai aturan perdagangan yang berbeda-beda di antara keenam mitra dagangnya. ASEAN telah menandatangani lima kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreements–FTA) sampai saat ini; yakni ASEAN-China FTA, ASEAN-Jepang Economic Partnership Agreement, ASEAN Korea FTA, ASEAN-Australia New Zealand FTA, dan ASEAN India FTA.

Meskipun FTA dilakukan untuk memberikan perlakuan dan kemudahan bagi negara mitra dalam ekspor dan impor, permasalahan yang muncul dalam lima FTA di ASEAN adalah aturan perdagangan yang berbeda dari setiap FTA. Perbedaan aturan tersebut akhirnya membuat pelaku usaha kesulitan untuk mempergunakan kemudahan-kemudahan, misalnya keringanan bea masuk, yang telah disepakati dalam sebuah FTA.

Oleh karena itu, RCEP dirundingkan dengan maksud untuk menyederhanakan aturan-aturan yang berbeda tersebut. Ini penting dilakukan, karena rumitnya aturan tersebut membuat pelaku usaha kesulitan mempergunakan FTA ketika hendak melakukan ekspor dan impor. Survei Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2009 menyebutkan bahwa rata-rata pemanfaatan FTA negara-negara ASEAN hanya sebesar 22% dari total seluruh ekspor yang dilakukan ke negara mitra (ADB, 2009).

Keberadaan RCEP sendiri di tingkat global menjadi rival bagi negosiasi serupa yang diinisiasi oleh Amerika Serikat, yakni Trans Pacific Partnership (TPP). TPP adalah kesepakatan perdagangan bebas yang diikuti oleh tujuh belas negara di Asia-Pasifik yang juga diikuti oleh beberapa negara anggota ASEAN, yakni Malaysia, Singapura, Brunei, dan Vietnam.

Sejauh ini Indonesia belum bergabung dalam TPP, meskipun AS banyak melakukan lobi ke Indonesia untuk mengajak bergabung dengan TPP, misalnya dalam pertemuan antara Presiden SBY dengan Evan Greenberg, Kepala Dewan Bisnis AS-ASEAN yang dilakukan Juli 2012 lalu. Sebaliknya, RCEP dianggap sebagai langkah tandingan China terhadap Amerika Serikat untuk membuat kesepakatan perdagangan bebas dengan ASEAN.

Tak hanya China, Yukio Edano, Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, dalam pembukaan negosiasi RCEP di Kamboja akhir 2012 lalu, juga menyatakan bahwa negosiasi RCEP penting bagi Jepang dengan berbagai agenda yang harus diselesaikan di antara ASEAN dan mitra dagangnya.

Adanya tarik-menarik kekuatan global dalam membuat kesepakatan perdagangan bebas di ASEAN memperlihatkan bahwa kawasan Asia Tenggara semakin dinamis dan menarik bagi mitra dagang untuk meningkatkan aktivitas perdagangannya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga membuat kawasan Asia Tenggara semakin menarik bagi investor.

Memperbaiki kinerja
Bagi Indonesia, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan perdagangan bebas perlu diimbangi dengan reformasi di tingkat domestik serta peningkatan kapasitas industri yang mumpuni. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk dari berbagai negara.

Beberapa reformasi yang perlu segera dilakukan Indonesia seharusnya mencakup pengolahan produk mentah Indonesia (hilirisasi), peningkatan standar kualitas produk, peningkatan akses keuangan kepada usaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor, serta penerapan teknologi tepat guna dan sederhana. Masalah hilirisasi saat ini merupakan prioritas pemerintah yang telah dilakukan melalui berbagai program, salah satunya melalui Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline