Halo kawan-kawan mahasiswa se-Nusantara utamanya yang berdomisili di luar Papua. Apa kabarnya kabar kalian? Saya berharap kalian dalam kondisi sehat walafiat. Kalian sibuk apa akhir-akhir ini? Sibuk dengan rutinitas perkuliahan dan organisasi? Pastinya ya! Saya kira begitu soalnya saya sudah melalui masa-masa itu kok kala masih berstatus mahasiswa dulu.
Saya mau cerita sedikit nih mengapa saya bisa "terdampar" di Papua. Ya, semangat idealismeku yang pada akhirnya membuat saya menetapkan diri memilih Papua sebagai bagian dari awal perjalanan saya selepas lulus kuliah.
Sebelum tamat, saya sempat berikrar saya ingin mengabdikan diri di tempat yang berada di luar Pulau Sulawesi dan jauh dari perusahaan yang didalamnya ada banyak teman kampus. Alasan saya yang terakhir bukan bermaksud untuk menjauhi teman dan alumni kampusku tapi ini sehubungan dengan jiwa saya yang suka tantangan.
Tantangan itu adalah ingin memulai perjalanan baru mencari perkawanan di Ujung Timur Indonesia. Mirip-mirip perjalanan Ruffy dalam serial film animasi One Piece. Intinya, saya ingin keluar dari zona nyaman. Bodoh amat deh kata orang-orang bahwa saya menyia-nyiakan tawaran yang ada atau dicap tak berpikir realistis. Tak hanya itu, ada yang mengatakan bahwa saya telah menjerumuskan diri akan hal-hal yang tidak pasti yang berujung pada pundi-pundi penghasilan saya nantinya hanya pas-pasan saja.
Sebagai pemuda tipe petualang, saya ingin memanfaatkan masa muda saya untuk mengeksplore hal-hal baru yang belum pernah saya lakukan. Biar bisa menambah pengalaman sekaligus menempa mental. Soal rejeki biar Tuhan yang atur deh. Biarpun gajinya pas-pasan yang pasti saya senang menjalaninya. Daripada gaji tinggi tapi ujung-ujungnya makan hati yang pada akhirnya jadi penyakit.
Pengalaman di Papua
Saat ini, saya sudah hampir dua tahun berada di Bumi Cendrawasih. Berbagai suka dan duka telah saya lalui. Itulah bagian dari cobaan yang hendak menguji iman dan kadar idealismeku. Sukanya karena saya mendapat teman-teman baru dan menjadi saksi langsung perkembangan Papua.
Dukanya yah itu, jauh dari sahabat dan keluarga saya di Sulawesi, biaya hidup yang lumayan gede ketimbang di Sulawesi dan tak kalah seru bahwa saya harus beradaptasi dari titik nol lagi karena ada beberapa model pergaulan yang cukup berbeda dengan lingkungan saya dahulu di Makassar.
Semenjak menimba pengalaman di Papua, pikiran saya tentang Papua mulai terbuka. Apa yang saya pikirkan selama ini tentang Bumi Cendrawasih ternyata sangat beda dengan apa yang saya rasakan, alami, dengar dan lihat dengan mata kepala sendiri. Saya sempat tertipu dengan narasi-narasi media tentang seramnya Papua. Pada kenyataannya orang-orang Papua humanis kok. Mereka tulus dalam menjalin pertemanan sekalipun orang tersebut seorang pendatang termasuk saya ini.
Proses Adaptasi di Papua yang Cukup Sulit
Bagi para perantau yang mencoba peruntungan di Papua, akan menemui sedikit kendala dalam proses adaptasi di Bumi Cendrawasih ini. Pasalnya, kehidupan di Papua agak sedikit berbeda dengan daerah lainnya. Mulai dari lingkup pergaulan, kebiasaan masyarakat, proses komunikasinya dan masih banyak lagi. Proses adaptasinya lumayan berat bagi orang yang baru pertama kali menginjak Papua.