Lihat ke Halaman Asli

Misteri Kursi Kepiting

Diperbarui: 1 Juli 2018   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dunia tidak berakhir pada tanggal 27 September 1907, tetapi alunan waktu yang kadang deras dan kadang pelan, seperti aliran air di sungai dalam mimpi-mimpi Einstein, kutemui di Hotel Celestine milik Arif Arafah. Hanya tiga rahasia yang akan mendapatkan jawaban, dan tak ada jaminan bahwa itu akan memuaskan.

Matahari sudah bergeser ke kaki langit barat saat aku, Nindy dan si Lima Tahun sampai di Resto Kepiting di lantai kedua hotel bintang tiga yang terletak di Jalan Kaliurang Nomor 331B. Kami hendak menagih janji pemiliknya yang akan meminjami kami Rp 100 juta. "Pak Arif sedang istirahat siang, silakan menunggu di resto," kata resepsionis yang menerima kami.

Resto Kepiting berkonsep semi terbuka. Hanya sekitar sepuluh hingga lima belas meja berbentuk lingkaran yang disediakan dengan masing-masing enam kursi yang juga berbentuk lingkaran. Meja dan kursi itu hasil kerajinan tangan, warnanya hitam legam dan terbuat dari ban bekas. Payung yang menaungi meja terbuat dari bambu yang ditancapkan di tengah meja, lalu lingkaran di ujung atas bambu diberi anyaman bambu kasar sebagai penopang lembaran jerami yang ditata rapi di atasnya.

Sebenarnya payung jerami itu lebih berfungsi estetis ketimbang praktis. Ia tidak cukup lebar untuk menaungi hingga ke kursi-kursi. Justru karena itu, apabila dilihat dari lantai di atasnya, meja berbentuk lingkaran yang ditutupi payung jerami dan dikelilingi enam kursi itu mirip dengan kepiting. Dari situlah nama resto ini diinspirasi. Salah seorang staf restoran menyebutkan bahwa Gosho Aoyama menulis naskah komik Detektif Conan berjudul A Crab and Whale Kidnapping Case ketika menginap di hotel ini. Tetapi pernyataan itu meragukan, mengingat penampilan staf restoran itu terlalu rapi untuk seorang penggemar komik.

Si Lima Tahun, meskipun belum bisa membaca, sangat menggemari komik. Berbeda dengan anak lain yang minta didongengi sebelum tidur, dia hanya minta ditemani membaca komik Naruto. Kolaborasi yang menarik. Aturan mainnya, jika ada teks panjang maka aku akan membacanya keras-keras. Tetapi begitu teks berulang yang terdiri dari tiga huruf, gilirannya untuk membacanya. "Tap-tap-tap-tap!" atau "Hop-hop-hop!" atau "Dug-dug" atau "Set-set". Jika intensitasnya makin melambat, itu tanda dia mulai mengantuk.

"Ciat... Ciat!" suara si Lima Tahun mengagetkanku. Dia sedang mempraktekkan urarenge jutsu dengan melompat dari satu kursi ke kursi yang lain. Nindy tengah berdiri membelakangi, di sisi meja yang berseberangan. Mungkin memperhatikan lalu lintas di bawah sana. Setengah berlari aku memburu untuk menahan kursi malang yang menjadi korban jutsu agar tidak terguling ke belakang.

"Aman kok, Pak," ujar seorang pelayan dengan baki kosong yang kebetulan melintas, " Semua kursi dipaku ke lantai."

Semua kursi dipaku ke lantai. Refleks kuamati kursi yang menyerupai kaki-kaki kepiting itu. Benar. Setiap kakinya dipaku dengan kuat ke dua titik yang terhubung dengan potongan ban dalam. Satu paku menancap di kaki kursi dan satu paku lagi ditancapkan ke lantai kayu. Tenaga anak usia lima hanya akan menggoyangkan kursi kepiting itu sedikit. Bahkan orang dewasa pun, tanpa alat bantu, tidak akan mampu mengangkat kursi itu dari lantai tempatnya menempel.

Semua kursi dipaku ke lantai. Sepertinya pernyataan yang agak aneh, karena tadi pagi ada kursi yang terguling ketika aku secara emosional merangsek ke arah Arif. Aku ingat betul bahwa kami terguling bersama dengan kursi itu. Lalu dua orang bodyguard Arif melerai kami, dan Arif kembali duduk di kursinya.

Kubayangkan lagi adegan itu dalam gerakan lambat. Stop-stop! Ya, ada yang aneh, tetapi apa ya? Tidak ada burung merpati yang berterbangan karena kaget di latar belakangnya. Tidak ada John Woo, Joko Anwar, atau siapa pun juga, yang duduk mengamati kami di kursi sutradara. Nah.... Saat terjengkang ke belakang, rokok Arif ikut terlempar ke belakang. Bodyguard memisahkan kami. Lalu dalam hitungan detik Arif sudah kembali duduk tenang di kursinya sambil mengisap rokoknya? Bagaimana mungkin dia bangkit dari lantai, mengembalikan kursi ke posisinya, lalu mengambil rokoknya dalam waktu yang sedemikian singkat?

"Duduklah Can... Katanya kamu mau pinjam uangku? Masak sih pake galak banget seperti itu? Padahal aku sudah berniat meminjamimu lho..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline