Ketika aparat tak kunjung menemukan sepeda motornya yang hilang, Arya sangat geram. Dadanya bergemuruh, seperti gunung yang ingin memuntahkan lahar panas. Ia sangat marah. Ini kali ke dua sepeda motornya raib digasak pencuri. Dan, dua kali pula usaha pencariannya tak membuahkan hasil.
"Bedebah!. Pencuri itu harus diberi pelajaran!" batinnya dengan raut muka memerah.
Di sebuah warung kopi tempat Arya biasa berkumpul, ia berkata pada teman-temannya.
"Kawan-kawan, sudah banyak korban pencurian di kampung kita. Kita tak boleh tinggal diam. Kita harus buat pencuri itu jera. Jika nanti ada yang memergoki dia kembali beraksi, kita semua harus bergerak. Siaap?"
"Siaap!", teman-temannya menyambut dengan pekikan dan kepalan tangan ke atas.
"Kita harus tangkap pencuri itu dan jangan dulu dilaporkan ke aparat."
"Lalu apa rencanamu, Arya?" tanya Wawan yang juga pernah kehilangan ayam jago peliharaannya.
"Memberinya pelajaran. Kalau perlu kita kirim pencuri itu ke neraka."
"Jangan gegabah, Arya. Itu namanya main hakim sendiri. Serahkan saja pada yang berwajib." timpal Sandi, mengingatkan.
"Persetan! Apa kita akan terus membiarkan dan menunggu barang-barang milik kita disikat habis? Jangan berharap banyak pada aparat, karena untuk itu juga perlu uang. Kalau perlu kita selesaikan semua ini dengan tangan kita sendir."
"Betul.. setuju.. " sahut beberapa orang hampir serempak.