Masih terpatri dalam memoriku. Ujung ranting kering sebesar peniti yang jatuh dari pucuk pohon jati di rambutmu yang sebahu. Kaubiarkan ia singgah di bahumu, hingga kaucegah niat baikku untuk membersihkannya dari indahnya mahkotamu.
Anne, sudah 3 kemarau membangunkan memoriku saat kamu mengantarku ke stasiun dan meninggalkamu di sudut kota kecil. Sudut kota yang menyimpan tapak-tapak kaki kita setiap kali usai lonceng sekolah berdentang panjang. Ingin sekali setiap akhir hujan bulan Juni aku berlari, menyaksikan satu persatu daun-daun jati luruh menghempas tanah bersamamu. Seperti dulu.
Tapi jarak yang jauh tak memiliki toleransi untuk kerinduan yang selalu menggelayut setiap saat. Aku harus selesaikan tugas dan cita-citaku, yang kuniatkan menjadi cita-cita kita. Merajut cita dan berharap mimpi tentangmu tetap hadir kala sunyi mencekam dalam rindu. Aku tak ingin jarak menjadi alasan untuk sebuah akhir kisah dua insan. Tak ingin hatiku menjadi kemarau dan satu per satu perasaanku berguguran dirampas keriuhan kota Jakarta.
Dan.... setelah sekian musim berlalu, mimpi tentang pertemuan kita di musim gugur seperti saat kita berpisah dahulu nyatanya jauh dari skenario kita.
“Maafkan aku, mas. Sudah kuputuskan mana yang terbaik. Menantimu rasanya tak mungkin, sedang orangtuaku tak bisa dibendung kehendaknya.” Kalimat terakhirmu serasa halilintar di siang bolong. Aku menghela nafas dalam-dalam. Berharap masih bisa menginjak bumi.
“Anne, secepat itu kau berubah ? “ Hatiku menangis, meski mataku kering tanpa air mata.
“Mas.. apa dayaku. Rasanya kita harus realistis menghadapi semua ini. Aku pun tak bisa melupakan musim gugur pertama saat kau meninggalkanku. Biarlah itu menjadi kenangan bahwa seseorang pernah mengisi sebagian hidupku. Jodoh, ajal dan rejeki bukan kita yang menentukan. Maafkan aku sekali lagi, mas. Aku berdoa untukmu kelak menemukan penggantiku yang lebih baik. Aku tak mungkin menunggumu menyelesaikan studi.“
Kuhirup nafas dalam-dalam. Kuhembuskan perlahan sambil kutatap foto kita di sudut kota kecil yang masih selalu kusimpan. Kali ini aku ragu apakah masih akan menyimpannya atau melupakannya. Dan ranting kecil sebesar peniti di rambutmu, ingin aku meniupnya seperti dulu. Tapi biarlah... Kurasa ia akah hilang bersama angin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H