"Macet kan masih ada, rumah aja masih banyak yang terbakar. Pelayanan publik juga belum begitu jalan" demikian salah satu kritik terhadap kinerja Jokowi sebagai Gubernur DKI yang dilontarkan oleh Wasekjen Partai Demokrat, Ramadhan Pohan ( detik.com ). Kritikan-kritikan senada juga datang dari politikus partai yang sama, Nurhayati dan Ruhut Sitompul. Mereka sama-sama menggugat hasil yang “belum bisa” langsung dirasakan seperti macet dan banjir yang masih berlangsung di ibu kota. Mereka sama sekali tak menyinggung apa yang sudah dilakukan Jokowi, yang jelas kenyataannya macet dan banjir belum sirna dari ibu kota. Titik, tanpa koma. :)
Banyaknya kritikan yang hanya menuntut hasil seperti cara-cara politikus di atas dalam mengkritisi kinerja Jokowi lebih terdengar seperti bukan sebuah kritik meskipun diklaim sebagai kritik. Kritikan yang hanya menuntut hasil apalagi hasil yang harus bisa dirasakan segera adalah sebuah permintaan yang cenderung kekanak-kanakan karena tak peduli bahwa apa yang diminta sedang dalam proses atau sedang diupayakan. Namun sangat disayangkan, kritikan dari seorang pejabat negara yang menyandang predikat mentereng sebagai wakil rakyat ini lebih bernuansa politis dan provokatif. Ternyata cara seseorang menyampaikan kritik tak selalu berbanding lurus dengan tingkat pendidikan, status sosial ataupun status jabatan, tapi lebih dipengaruhi oleh sebuah kepentingan. Kalau kepentingannya untuk kepentingan nasional mungkin efek kritiknya lebih sebagai kritik yang membangun, tapi kritik yang seperti ini lebih didorong oleh kepentingan politis sebuah partai atau golongan.
Alangkah baiknya selevel anggota DPR lebih mengkritisi kinerja gubernur dan bukan menuntut hasil secara instan, karena Jokowi baru satu tahun bekerja. Belum saatnya bicara hasil kecuali jika gubernurnya adalah Bandung Bondowoso atau tokoh fiktif lainnya yang bisa menyulap proyek besar dalam sekejap. Mengkritik boleh saja karena Jokowi pun tidak anti kritik dan selama ini bisa menerima kritikan dengan cukup bijak meski materi kritikannya sering tidak pas dan bernuansa politis maupun kritik yang bernada cemburu ataupun fitnah.
Paling buruknya, andai pun setelah 5 tahun Jakarta tetap macet dan banjir namun selama pemerintahan Jokowi kinerjanya bagus dalam artian benar-benar bekerja keras dan bersih dari korupsi, Jokowi tetap patut diapresiasi positif. Kecuali kalau sebaliknya, mulai melempem dan ternyata terlibat korupsi barulah apresiasi negatif buat kepemimpinan beliau dan bisa dinyatakan Jokowi gagal memimpin Jakarta.
Tapi jika manusia sudah bekerja keras dan berusaha menjalankan amanah sebaik-baiknya, masak iya tidak membawa hasil? Jadi yang terpenting adalah bagaimana mengawal Jokowi untuk tetap bekerja dengan baik, jujur, amanah dan tak terlibat dengan korupsi itu yang terpenting. Masalah hasil, nanti Tuhan yang akan menunjukkannya. Perbuatan yang baik tentu akan membawa hasil yang baik. Itu sudah hukum alam yang tak terlepas dari sebab dan akibat. Namun di atas semua itu, manusia hanya bisa berusaha sebaik-baiknya. Manusia hanyalah ciptaan Tuhan yang tak bisa menentukan hasilnya A atau B? Apakah Ruhut, Pohan dan Nurhayati merasa bisa mengendalikan hasil dari suatu perbuatannya? Begitu pun Jokowi, ia hanya menjalankan hidupnya dengan bekerja, bekerja dan bekerja sebaik mungkin yang dia bisa. Jokowi tak bisa mengatur-atur hasilnya nanti bagaimana, karena sekali masalah hasil bukan lagi wilayah dan wewenang manusia.
Untuk itu, buat para penuntut hasil yang berdalih bahwa Jakarta masih macet dan banjir untuk membuktikan kegagalan Jokowi, tolong bisa lebih bijak lagi dalam mengkritik. Kritikan yang tidak dewasa justru akan berbalik kepada si empunya, tapi kritik yang membangun itulah kritik yang dibutuhkan untuk mewujudkan wajah Jakarta menjadi Jakarta Baru yang modern, tertata rapi dan tentu saja bebas macet dan banjir. Semoga.
Salam Jakarta Baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H