Ketika sebuah kebiasaan berlangsung dalam kurun waktu yang lama di masyarakat, maka kebiasaan itu akan dianggap lumrah, umum dan wajar. Begitu pula jika kebiasaan negatif dan dalam skala besar menjadi penyakit sosial, kebiasaan itu pun akan nampak sebagai hal yang biasa dan seolah-olah bukan sesuatu yang patut diluruskan dan dihilangkan. Ketika budaya korupsi yang jelas-jelas aturan negara melarang, namun di saat yang sama dipraktekkan "bersama-sama" maka akan menjadi kebiasaan yang dimaklumkan. Dan saat ada yang berani menjanjikan untuk memberantasnya, dan itu artinya melawan arus, akan banyak orang yang skeptis akan keberhasilannya. Mereka berpikir bahwa tindakan demikian bagaikan menegakkan benang basah, karena akan berhadapan dengan kekuatan masa yang telah akrab dengan kebiasaan negatif tersebut.
Padahal kalau kita renungkan, budaya korupsi, budaya tidak mau antri, budaya suap, budaya markup, budaya mempersulit, budaya asal bapak senang, dan kebiasaan-kebiasaan negatif inilah yang melahirkan permasalahan-permasalah pelik negeri ini.
Diperlukan sebuah gerakan yang luar biasa untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Diperlukan pemimpin yang benar-benar punya komitmen, berani melawan arus di tengah-tengah budaya negatif yang sudah berurat berakar di masyarakat. Penulis mengambil perumpamaan dengan meminjam sebuah judul novel Raditya Dika, bahwa untuk memperbaiki negeri ini diperlukan leadership atau kepemimpinan 'manusia setengah salmon'. Karena sebagaimana kita tahu karakter ikan salmon adalah karakter yang sangat gigih berjuang dalam hidupnya melawan arus sungai setelah bertahun-tahun hidup di laut. Ikan salmon berani meloncat, menerjang arus deras sungai dari hilir ke hulu, hanya untuk bertelur. Perjuangan ikan salmon, bukan perjuangan yang mudah. Penuh kekerasan dengan resiko menghadapi ancaman kematian di tengah perjuangan. Maka Diperlukan 'manusia setengah salmon' yang berani bergerak melawan arus. Berani mengikis budaya korupsi, tidak kompromi terhadap orang-orang yang mengambil manfaat dari jabatan yang diembannya untuk kepentingan pribadi. Bersedia melayani rakyat yang butuh pertolongan dengan kekuasaan yang diamanahkan, dengan menyalurkannya tepat sasaran. Berani menggunakan anggaran dengan efisien, tanpa disunat, diproyekkan, dimarkup dan dikorupsi. Berani merombak birokrasi yang menyulitkan dan berbiaya tinggi dan mengganti dengan birokrasi yang mudah, cepat dan murah. Berani melakukan transparansi dalam membelanjakan anggaran dalam pemerintahan yang diembannya. Berani memberantas uang suap masuk PNS. Dan berani melakukankan hal-hal konkrit lainnya, yang saat ini dengan mata telanjang dilakukan sepanjang waktu.
Pertanyaannya adalah, adakah manusia jenis ini di zaman sekarang ? Adakah yang berani membuat gebrakan, membenahi negeri ini dengan kekuasaannya? Wajar bila perasaan skeptis menghinggapi masyarakat, karena dari tahun ke tahun disuguhi model kepemimpinan yang tak kunjung memenuhi harapan meskipun reformasi sudah dilalui selama 14 tahun semenjak kejatuhan rezim orde baru tahun 1998. Model kepemimpinan yang biasa-biasa saja, ternyata tak berhasil mendorong mobil yang mogok, apalagi memperbaikinya. Diperlukan leadership yang luar biasa dengan strategi yang luar biasa untuk mengurai benang kusut ini.
Banyak orang baik, banyak orang sholeh dan bersih di negeri ini. Tapi ternyata karakter manusia jenis ini tidak cukup. Banyak dari mereka saat diberi kesempatan memegang kekuasaan, ternyata tidak mampu melakukan perubahan berarti. Terkadang, alih-alih melakukan perubahan dan perbaikan, justru malah ikut terbawa arus hingga kehilangan komitmen dan idealismenya. Perlu ditambahkan karakter 'manusia setengah salmon' untuk melengkapi orang-orang baik dan tulus di negeri ini. Penulis yakin, orang seperti itu bukan mustahil ada. Bisa jadi mereka akan dilahirkan, atau sudah dilahirkan. Bisa jadi mereka sedang belajar dan menunggu saatnya turun gunung, dan bisa jadi pula mereka sudah turun gunung.
Dan saat pilkada DKI usai belum lama ini, adakah kita melihat 'manusia setengah salmon' telah dilahirkan untuk perubahan Jakarta sebagai cikal bakal perbaikan untuk Indonesia? Sulit mengatakannya, tapi tentu kita yakin dengan firman Tuhan , bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setiap di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan, ada masalah ada solusi, ada penyakit ada obatnya.Kalau tidak kemarin tentu hari ini, kalau tidak hari ini tentu hari esok.
Akhirnya biarlah waktu yang akan menjawabnya. Hanya Tuhan yang mengetahui skenario kehidupan.
#Jakarta, 22 September 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H