Lihat ke Halaman Asli

Kesehatan Jiwa Milik Siapa?

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Namanya Kunto (65 thn) sehari-hari ia mengais rezeqi sebagai tukang urut, itupun jika ada yang membutuhkan jasanya karena memang hanya itulah satu-satunya ketrampilan yang ia miliki. Kunto memiliki anak lelaki semata wayang yang telah beranjak dewasa sebut saja Yudhis (20 Thn). Mereka berdua menempati sebuah teras rumah kosong. Mereka dibolehkan tinggal oleh pemilik rumah dengan catatan sebelum rumah tersebut laku terjual. Untuk sekedar membersihkan badan (MCK) serta pakaian yang dikenakan terpaksa ia berdua menumpang pada salah satu Masjid Raya tidak jauh dari rumah yang ia tempati.

Yudhis terdiagnosa Skizofrenia (Gangguan Jiwa) sejak tahun 2013 yang lalu dan sempat menjalani perawatan untuk pertama kalinya di RS. Soeharto Herdjan. Pada hari senin, 03 Februari 2015 mungkin akan menjadi hari yang akan selalu diingat oleh Kunto,betapa laki-laki yang beranjak sepuh itu harus tetap berjuang agar anaknya mendapatkan pelayanan kesehatan. Pada hari-hari sebelumnya Yudhis sudah memperlihatkan gejala kekambuhan yakni dengan menunjukkan emosi yang labil dan sudah membahayakan lingkungan keluarga serta tetangganya. Dalam ketidakberdayaan Kunto masih berharap membawa anaknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan me-rawat inap-kan di RS.Soeharto Herdjan tapi apa daya dengan kombinasi faktor ekonomi, edukasi yang minim serta insight (tilikan diri) yang buruk dari pasien ia berada dalam kebingungan. Secara prosedural tentunya dengan mendatangi fasilitas kesehatan tingkat pertama yakni Puskesmas, berharap pihak puskesmas bisa membantu dengan menyediakan mobil ambulance karena kasus seperti ini sudah termasuk gawat darurat dan harus segera ditangani. Ambulance yang sangat dibutuhkan ternyata juga sedang melayani pasien rujukan ke rumah sakit yang lain, jadilah pihak puskesmas tidak banyak membantu. Begitupun Mobil Ambulance Rumah Zakat, dari dua orang driver yang dihubungi ternyata keduanya tidak bisa dengan alasan pribadi masing-masing, tetapi  kedua Armada Ambulance nya terparkir rapi dipojokkan pelataran Masjid tempat Kunto dan Yudhis mandi dan mencuci pakaian. Beberapa pertanyaan sempat berseliweran di kepala ‘Apakah memang armada tersebut dikhususkan untuk membawa orang yang meninggal atau salah menyebutkan ketika menelpon bahwa ada pasien gangguan jiwa yang gawat darurat. Apakah ada respon yang berbeda ketika menyatakan ada pasien kanker stadium 4 atau pasien gagal jantung yang membutuhkan ambulance dengan segera. Aah sudah lah yaa.. mungkin sopirnya yang tidak ada (mencoba berbaik sangka).

Tanpa berargumen lebih jauh, dengan terus mencoba kesana kemari akhirnya ada salah satu ambulance milik partai politik yang bersedia membawa yudhis ke Rumah Sakit. Sebelumnya sudah dipersiapkan satu helai kain dengan sedikit di basahi air agar mudah untuk mengikat jika ia ternyata berontak. Singkatnya Yudhis kini sudah berada dalam ruangan isolasi Rumah Sakit Soeharto Herdjan, apresiasi yang sebesarnya untuk para petugas kesehatan di rumah sakit tersebut dan kabar baiknya bahwa Pemerintah Kota Tangerang tetap melanjutkan Program Pelayanan Kesehatan bekerja sama terhadap 22 Rumah Sakit yang tersebar diwilayah Kota Tangerang serta DKI Jakarta dengan hanya menunjukkan KTP Kota Tangerang. Sehingga walaupun Kunto tidak mendaftarkan BPJS ia tetap mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah kemana akan mengadukan jika terjadi kasus gawat darurat bagi keluarga-keluarga yang mengalami kejadian seperti diatas? Seberapa besar peranan PSM (Petugas Sosial Masyarakat) yang notabene kepanjangan tangan dari Dinas Sosial dapat diandalkan. Apakah para PSM tersebut sudah dilatih dan mendapatkan pengetahuan yang cukup menangani aduan dari masyarakat, jika sudah terlatih harus kemana para warga menghubungi PSM jika ada kejadian gawat darurat diwilayahnya?Apakah Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial mempunyai sebuah program untuk melayani kasus gawat darurat kesehatan jiwa? Apakah harus menunggu korban yang tidak diinginkan jatuh terlebih dahulu tanpa ber-inisiatif dan kreatif menelurkan program-program yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Tampaknya saat ini bagi keluarga-keluarga yang mengalami kejadian seperti diatas harus berjibaku sendiri dan bersusah payah sendiri. Semoga kedepan penanganan kegawat daruratan yang terjadi di sekelilingi kita dapat segera teratasi dengan adanya saling koordinasi, sosialisasi serta action para pengambil kebijakan dengan lebih mendorong isu-isu kesehatan jiwa menjadi sebuah persoalan yang lebih penting bukan sebuah jargon semata.  Jadi kesehatan jiwa sebenarnya milik siapa?

Salam sehat jiwa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline