Presiden Joko Widodo sepertinya ingin kemiskinan ekstrem terentaskan pada akhir masa jabatannya tahun depan. Peneliti SDGs Center Universitas Padjadjaran Bandung Profesor Arif Ansori Yusuf berpendapat pemerintah akan kesulitan menurunkan angka kemiskinan ekstrem 1% dalam 1 tahun apalagi target yang menjadi sasaran dalam program ini tidak mudah diidentifikasi dan dijangkau mereka.
Misalnya adalah kelompok terpinggirkan seperti perempuan tinggal di daerah terpencil dan memiliki disabilitas. Arif menilai bahwa optimisme Presiden Jokowi terkait penghapusan kemiskinan ekstrem bertabrakan dengan realitas karena angka kemelaratan di tanah air masih cukup tinggi pada tahun ini. (voaindonesia.com)
Berdasarkan surat Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Wakil Presiden nomor: B-38/KSN/SWP/KK.04.01/02/2022 tertanggal 25 Februari 2022. Dalam surat tersebut berisikan 17 kabupaten/kota di Jabar yang menjadi Prioritas Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem 2022. Jumlah itu bertambah jika dibandingkan tahun 2021.
Di antaranya Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Kuningan. Kemudian, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Depk, dan Kota Tasikmalaya. (jabar.jpnn.com)
Sementara itu, Bank Dunia memberikan kritik bahwa target tersebut dianggap terlalu mudah diraih. Alasannya karena ukuran garis kemiskinan yang digunakan untuk mendefinisikan kemiskinan ekstrim terlalu rendah menurut pemerintahan negeri ini. Seseorang dikategorikan miskin ekstrim jika kemampuan lawan daya beli atau Purchasing Power Parity/PPP hanya mencapai 1,9 Dollar.
Dalam perhitungan BPS seseorang dikategorikan miskin ekstrim jika pengeluarannya ada di bawah 10.739 rupiah/orang /hari atau 322.170 rupiah/orang/bulan pada Maret 2022. Angka nasional kemiskinan ekstrem sebesar 2,04% atau 5,59 juta jiwa menurun dari data Maret 2021 sebesar 2,14% atau 5,8 juta jiwa.
Kapitalisme meniscayakan kemiskinan sistemik
Target waktu penghapusan kemiskinan ekstrim hanya dalam waktu setahun memang sangatlah ambisius melihat faktor penyebab terjadinya kemiskinan di negeri ini yang begitu sistemik dan termasuk kemiskinan struktural. Penghapusan kemiskinan ekstrim tidak akan mampu tuntas hanya dengan beragam program, namun perubahan harus menyentuh akar persoalan, karena sistem ekonomi kapitalis memang meniscayakan terwujudnya kemiskinan.
Kapitalisme tegak di atas asas yang batil yakni sekulerisme yang menafikan peran agama atau aturan hal haram dalam pengaturan kehidupan. Sistem ini juga tegak di atas pilar yang rusak yakni prinsip liberalisme dalam kepemilikan yang membolehkan para pemilik modal menguasai kekayaan alam negeri ini. Padahal kekayaan alam tersebut sejatinya adalah milik umat.
Hal ini membuka peluang terjadinya ketidakadilan dalam distribusi kekayaan di tengah umat. Sebab para pemilik modal mendapatkan akses besar terhadap kekayaan tersebut sementara sebagian besar rakyat akan semakin sulit mengakses kebutuhan mereka. Parahnya lagi liberalisasi ekonomi dalam kapitalisme melegalkan kapitalisasi seluruh sektor kehidupan pendidikan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan asasi.