Lihat ke Halaman Asli

Menakar Keterpopuleran Bakal Calon Pemimpin Jakarta 2017

Diperbarui: 11 Juni 2016   02:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Don’t judge the book just from the cover” (jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja), menjadi adagium penting terkait pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang akan dihelat awal 2017 nanti. Adagium tersebut hendak mengingatkan para voters di Jakarta untuk menggunakan kesadaran politik secara maksimal dan tidak keliru menjatuhkan pilihannya.

Layaknya sebuah pameran buku yang menyuguhkan beragam karya, para pengunjung berharap dapat memilih buku yang hendak ia beli dan membawanya pulang untuk kemudian mendapatkan manfaat dari buku yang ia baca.

Namanya saja pameran buku, tentu penyelenggara akan berusaha mengemas secantik mungkin acaranya. Oleh penulisnya, buku-buku yang akan dijual pun akan dikemas semenarik mungkin agar dapat memikat dan menggoda hasrat para pengunjung untuk membelinya.

Biasanya, daya pikat sebuah buku bermula dari desain sampul, mulai dari sisi estetika, pemilihan font, variasi warna, penggunaan gambar dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemilihan judul buku yang menghentak, bombastis, dan dipenuhi tanda tanya besar bahkan dibubuhi tulisan 'best seller', sehingga para book hunters membelinya.

Sayangnya, prasyarat yang menjadikan daya tarik buku tersebut seringkali tidak dibarengi dengan mutu tulisan. Pembeli akhirnya harus menelan kekecewaan karena ternyata setelah ia membuka shrink plastik kemasan buku, ia mendapati bahwa isi buku yang ia beli tidak seheboh judulnya, tidak sehebat kemasannya. Dapat dikatakan, hakikat buku sebagai karya tulisan menjadi kehilangan relevansinya, malahan hanya menjadi karya seni semata.

Namun, The real book hunters atau para pemburu buku sejati yang memiliki kecermatan dan menggunakan kesadarannya dalam memilih buku yang akan dibelinya, tidak mudah tertipu oleh bujuk rayu kemasan sampul sebuah buku. Ia dapat membedakan mana buku harus dibeli dan layak untuk dibaca.

Gambaran tersebut nampaknya memiliki kemiripan dengan proses menuju Pilkada DKI Jakarta 2017. Contoh yang paling nyata adalah pameran manuver-manuver yang dijalankan oleh Gubernur DKI, Ahok sang incumbent yang dengan terus berupaya memanipulasi kesadaran politik masyarakat Jakarta dengan suguhan pencitraan dan keterpopuleran yang ia bangun. Mulai dari opini dari keterpopuleran Ahok dari lembaga-lembaga survey yang melacurkan diri, penguasaan media-media mainstream, membangun kekuatan pencitraan melalui pasukan udara di dunia maya, kebijakan-kebijakan yang memunculkan kegaduhan publik, bahkan ucapan-ucapan yang di-set sedemikian agar membuatnya semakin terkesan hebat dan sohor di mata dan telinga publik Jakarta.

Belum lagi sikapnya yang kasar seolah hendak menyatakan bahwa kekasarannya dalam memimpin Jakarta adalah sebuah kemestian karena Jakarta butuh pemimpin yang ucapannya sekali jadi, tanpa tedheng aling-aling. Seolah ia menyatakan, Jakarta itu keras bung, tidak penting lagi menimbang kepatutan, sikat habis, hantam, gusur, bla..bla..bla.

Padatnya lalu lintas dukungan kepada Ahok di dunia maya bukanlah gambaran sebenarnya dari besarnya dukungan publik Jakarta terhadap Ahok. Sudah menjadi rahasia umum bahwa melalui dunia maya sesuatu yang tidak benar-benar ada bisa menjadi seolah-olah ada, yang sedikit menjadi banyak, yang banyak menjadi sedikit, yang tidak populer bisa dibuat menjadi populer, yang biasa-biasa saja bisa menjadi luar biasa. Semua bisa diatur bro.

Bagi saya sebagai bagian dari masyarakat Jakarta, yang paling mencolok adalah dominasi dan manipulasi media pro Ahok. Dalam banyak pemberitaan terkait sang incumbent, bila terdapat ucapan atau tindakan Ahok yang kasar, dianggap tabu dan negatif oleh masyarakat Indonesia, maka media-media tersandera tidak absen memberikan advokasi/pembelaan. Di saat lain, ketika nyata-nyata kebijakan sang incumbent terindikasi melanggar aturan, buru-buru media-media mainstream yang tergadai tersebut menampilkan kebisuan dan kesunyian, seolah tidak terjadi apa-apa. Sungguh sebuah kemasan yang menarik.

Saya malah berasumsi jangan-jangan kebebasan pers diartikan oleh owners media sebagai kebebasan untuk berpihak, kebebasan untuk menerima kucuran dana segar dan kebebasan menerima titipan pesan dari siapa saja yang dikehendaki. Ini menjadi kenyataan pahit bagi dunia pers dan demokrasi di Indonesia, khususnya Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline