Lihat ke Halaman Asli

Covid-19: Lockdown dan Perdebatan Dua Isu Strategis

Diperbarui: 25 Maret 2020   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ntcmn.edu

Lockdown adalah langkah yang paling pragmatis untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19. Cuma resikonya menjadi sangat besar dan beragam. Benar, bahwa keselamatan manusia adalah diatas segalanya, namun secara holistik seluruh tatanan lainnya juga akan lumpuh manakala lockdown itu terjadi, yang berujung pada patologi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

Bayangkan, ditengah rupiah anjlok, daya beli masyarakat menurun, kondisi keuangan negara tidak signifikan, dan ekonomi gagal, maka saya menjadi cukup paham mengapa pemerintah belum cukup berani mengambil langkah yang beresiko ini.

Mari kita perhatikan apa konsekuensi logisnya jika pemerintah mengambil langkah tersebut?, maka tentu aktivitas manusia menjadi zero, yang berarti tidak ada perputaran ekonomi, tidak ada peluang pendapatan, tidak ada aktivitas apapun yang berakibat sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya.

Maka dalam situasi ini pemerintah tentu harus menyiapkan subsidi jor-joran pada kebutuhan publik, atau yang paling ekstrim tentunya adalah membiayai semua kebutuhan rakyat (primer & sekunder) dengan uang negara ditengah bergelimangan hutang dan kondisi kas negara yang tidak mumpuni.

Disisi lain, saya menjadi sangat paham jika Lockdown itu juga harus dilakukan, sebab hanya dengan begitu mata rantai penyebaran virus ini akan putus dengan segala resiko kompleksitasnya. Sebab, jika langkah yang dilakukan hanya menangani pasien melalui tahapan ODP sampai penyembuhan tanpa memutuskan mata rantai penyebarannya, maka seterusnya pula negeri ini akan dilanda penyakit ini.

Jadi, perdebatan dan pertentangan lockdown itu hanya berada pada dua isu sentral tersebut. Saling tarik ulurnya perdebatan pada dua isu itulah yang membuat pemerintah begitu lemah dalam mengambil sebuah keputusan.

Misalnya tekanan yang begitu kuat dari berbagai kalangan untuk segera melakukan lockdown, maka saya menganggap bahwa suka tidak suka fenomena ini memiliki relevansi yang amat kuat dengan teori sosialis yang resikonya sebenarnya mengerikan. Venezuela dan Quba adalah contoh negara yang terlalu sosialis, pada akhirnya kas negara habis, ekonomi rusak, rakyatnya makan nasi yang ada di tong sampah.

Tentu situasi seperti tidak ada dalam benak kita semuanya, sehingga jikapun lockdown harus dilakukan, maka langkah pra-lockdown yang harus dilakukan adalah pemerintah harus menyiapkan input sumber daya yang anti mainstream, mulai dari anggaran yang memadai, logistik, dan instrumen yang sangat beragam ditengah rupiah yang anjlok.

Untuk memenuhi belanja non planning tersebut, maka salah satu alternatifnya adalah pemerintah sewajibnya melakukan pemotongan anggaran pada proyek-proyek pemerintah, termasuk pada obyek-obyek yang bisa di cancel dan tidak begitu urgen, misalnya pemotongan gaji para pejabat, gaji para direksi BUMN, BPIP, stafsus yang tidak penting-penting amat, dll.

Langkah ini logis kok, sebab dalam kasus seperti ini sungguh membutuhkan input yang memadai ditengah himpitan ekonomi yang parah, termasuk nilai rupiah yang anjlok. Jangankan lockdown, social distancing pun membutuhkan input yang sungguh luar biasa. Maka dalam teori ekonomi, pemerintah harus segera mengambil langkah melalui 3 kebijakan dasar, yaitu alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Jika mau jujur, sebenarnya "sosial distancing" adalah langkah yang paling bagus dalam memutuskan mata rantai penyebaran virus ini dalam kondisi ekonomi negara yang kurang meyakinkan. Hanya saja dalam kondisi seperti ini kita berhadapan dengan bebalnya perilaku manusia. Tindakan ini tidak bisa dilaksanakan dari satu arah saja, melainkan butuh kesadaran yang baik dari masyarakat itu sendiri. Masalahnya banyak yang ngeyel, ya susah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline